REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Transparansi Informasi Indonesia (MTII) menyayangkan ada stasiun TV tidak independen dalam pemberitaan pilpres. Padahal, stasiun televisi yang menggunakan frekuensi berjaringan harus independen dengan mentaati amanat Undang-Undang dan etika demokrasi penyiaran.
Ketua MTII, Yudi Fahrul Sayuti, menyatakan etika dan prinsip penyiaran tertuang dalam UU no 40 tahun 1999 tentang Undang-Undang Pokok Pers, UU no 32 tentang penyiaran, UU no 42 tentang Pemilu Presiden dan Waki Presiden, PP no 11 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siarn (P3 dn SPS) Komisi Penyiaran Indonesia. "Tidak boleh melanggar etika dan prinsip demokrasi penyiaran," imbuhnya, dalam siaran pers, Ahad (13/7).
Sayangnya, etika dan prinsip itu dinilainya tidak ditaati beberapa stasiun TV, salah satunya Metro TV. Dia menyatakan selama masa kampanye pemilihan presiden stasiun TV itu dianggap tidak memberikan informasi berimbang, melakukan kampanye di hari tenang, dan mendiskreditkan salah satu calon presiden.
Pihaknya meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk mencambut izin penyiaran stasiun televisi Metro TV.
Stasiun Metro TV juga sudah ditegur oleh KPI terkait dengan tayangan umrah yang dilakukan oleh calon presiden nomor urut dua Joko Widodo (Jokowi). "Penyiaran umrah Joko Widodo tersebut tidak hanya dilakukan ketika berangkatnya saja, tetapi juga ketika ibadah, ziarah, dan pulangnya. Menurut kami, pemberitaan ini dirancang sedemikian rupa sejak jauh hari," kata Anggota KPI, Rahmat Arifin.
Teguran KPI tersebut dilayangkan pada 7 Juli dengan nomor surat 1605/K/KPI/07/14. Metro TV dinilai sudah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012.