Jumat 27 Jun 2014 09:09 WIB

Militer Indonesia Butuh MBT Leopard

 MBT Leopard dan Medium Tank (IFV) Marder yang dipamerkan di Indo Defence 2012 di Jakarta Internasional Expo, Jakarta, Senin (5/11).
Foto: Antara
MBT Leopard dan Medium Tank (IFV) Marder yang dipamerkan di Indo Defence 2012 di Jakarta Internasional Expo, Jakarta, Senin (5/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hisar Sitanggang

Ketika negara-negara maju yang memiliki kekuatan militer besar beralih ke kendaraan lapis baja yang lebih ringan dan lincah, negara-negara berkembang justru tertarik menggunakan tank tempur berat (main battle tank/MBT). Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menyebutkan 26 tank Leopard 2A6 dan 26 unit tank Marder akan tiba di Indonesia pada pekan pertama September 2014.

Pengumuman itu disampaikan setelah dua calon presiden Indonesia bersikap pro atau kontra atas pembelian tank tersebut. Sebenarnya pro kontra pembelian MBT Leopard 2 sudah bergulir jauh hari sebelum debat calon presiden tahap ketiga digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Ahad (22/6) lalu. Yang kontra menyebutkan bobot tank tersebut cukup berat dan kurang cocok dioperasikan di Tanah Air.

Pembelian Leopard kembali mengemuka ketika capres Jokowi-dalam debat yang membahas Politik Luar Negeri dan Ketahanan Nasional-menyatakan ketidaksetujuannya atas pembelian tersebut. Jokowi yang di belakangnya berkumpul para pensiunan jenderal mumpuni, menyebutkan tank Leopard berbobot terlalu berat.

Sehingga, Leopard tak cocok dengan kondisi geografis Indonesia. Selain itu, alih teknologinya pun tak terpenuhi sebagaimana diatur dalam UU 16/ 2012 tentang Industri Pertahanan.

Sedangkan, capres Prabowo Subianto tidak sependapat dengan Jokowi. Pensiunan jenderal bintang tiga yang banyak menghabiskan karier militernya di satuan tempur itu justru mengatakan Indonesia butuh tank tempur berat. Dan, pembeliannya tentu sudah dikaji cermat oleh Kemenhan dan Mabes TNI.

Setelah debat capres itu bergulir, Kemenhan kembali menyatakan pembelian tank Leopard tidak melanggar UU dengan tetap memperhatikan kondisi geografis Indonesia dan postur tubuh prajurit TNI.

Pembelian MBT Leopard juga berdasarkan kajian teknis dan taktis oleh Pusat Kesenjataan Kavaleri TNI AD, dan pembahasan lanjutan digelar di Mabes TNI AD dengan mempertimbangkan faktor sistem pemeliharaan, logistik dan purnajualnya.

Kemudian, di tingkat Mabes TNI dilakukan kajian operasional dengan melakukan pengujian. Sedang kebijakan pengadaanya dilakukan oleh Kemenhan, Mabes TNI, Mabes TNI AD, Kementerian Keuangan dan Bappenas, dengan mempertimbangkan kemampuan pabrikan, ketersediaan anggaran dan aspek lainnya. Setelah itu, baru diminta persetujuan DPR.

Dengan kata lain, prosedur pembelian Leopard cukup rumit dan melibatkan banyak instansi sehingga mengesankan kebijakan pembeliannya sesuai kebutuhan Indonesia. Sebanyak 52 kendaraan lapis baja buatan Rheinmetall akan tiba di Indonesia pada pekan pertama September 2014.

Upacara pengirimannya telah dilakukan di Unterluss Jerman pada 23 Juni, dihadiri Wakil Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin dan mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo.

Kemenhan menyebutkan pengiriman itu merupakan gelombang pertama atas 130 unit tank Leopard dan 50 unit tank Marder berdasarkan kontrak pembelian antara Kemenhan Indonesia dan Rheinmetall pada 2012. Sisa kendaraan lapis baja pesananan itu akan tiba di Tanah Air tahun 2016. Meski tak disebutkan, namun kontrak pembelian kendaraan itu dilaporkan mencapai 290 juta dolar AS.

Menhan Purnomo Yusgiantoro kembali menyebutkan, TNI AD sudah melakukan pengujian atas tank Leopard, dan spesifikasi teknisnya disesuaikan dengan kebutuhan TNI AD. Dia menyampaikan hal itu setelah dua tank Leopard 2 dan dua panser pengangkut pasukan Marder telah dikapalkan terlebih dahulu ke Jawa Timur untuk diuji.

MBT yang ditempatkan sementara di Divisi 2 Kostrad/Malang itu sudah diuji dalam perjalanan Surabaya-Situbondo dengan melewati jalanan, sungai dan jembatan.

Indonesia butuh

Banyak negara maju memang beralih ke kendaraan tempur yang lebih ringan dan lincah, namun banyak negara, termasuk di Asia, justru beralih ke tank tempur berat (MBT) karena membutuhkannya.

Negara Eropa yang mengurangi atau memensiunkan armada tank beratnya, juga menawarkannya tank miliknya, sehingga memicu minat negara lain untuk membelinya. Tiongkok, India dan Pakistan bahkan diperkirakan memiliki hampir 60,38 persen dari produksi global tank hingga tahun 2017, sebagaimana dilaporkan laman Defencereviewasia.com.

Di kawasan Asia Tenggara, setelah Malaysia mendapatkan MBT di tahun 2007, kemudian disusul Singapura, dan Indonesia pada September 2014. MBT Malaysia didatangkan dari Polandia, sedang Singapura menggunakan MBT buatan Jerman.

Awalnya Indonesia hendak membeli tank Leopard 2 yang digunakan Belanda, namun pembeliannya urung karena adanya penolakan dari oposisi Belanda. Negara anggota ASEAN lainnya, Thailand, juga memiliki tank berbagai jenis, namun sudah tua. Negara itu memutuskan memilih tank Ukrania (T-84 Oplot) dengan menandatangani kontraknya pada September 2011.

Indonesia telah memutuskan membeli MBT Leopard 2 yang merupakan tank berat terbaik di kelasnya di kawasan Asia Tenggara. Kemenhan dan TNI menyebutkan pembeliannya berdasarkan kebutuhan, dan telah mendapatkan persetujuan dari DPR.

Pembelian tank Leopard yang diputuskan pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mendapatkan persetujuan dari calon presiden Prabowo Subianto, namun ditolak keras oleh Jokowi.

Menhan Purnomo menyebutkan, Indonesia butuh tank tempur utama karena negara-negara tetangga sudah memilikinya terlebih dahulu. Meski TNI sudah memiliki tank Scorpion dan AMX-13, atau tank amfibi BMP-3, keberadaannya tidak cukup untuk menjaga kedaulatan Indonesia

MBT Leopard adalah tank tempur utama generasi ketiga setelah dioperasikan tahun 1979. Tank ini disebutkan memiliki kesamaan dengan tank tempur utama AS, M1 Abrams, dan termasuk dalam kelompok tank- tank tempur utama terbaik di dunia. Sedang Marder merupakan kendaraan tempur pengangkut pasukan setipe M2 Bradley buatan AS.

Kebijakan Indonesia memodernisasi persenjataan militernya, termasuk memperkuat industri strategis dalam negeri, berkaitan dengan peningkatan kemampuan militer negara-negara di kawasan regional, sementara potensi konflik perbatasan makin meningkat yang umumnya dipicu masalah perbatasan dan perebutan kekayaan sumber daya alam.

Sehubungan itu, anggaran militer TNI perlu terus diperkuat. Jika pertumbuhan perekonomian nasional di atas 7 persen, anggaran militer tentu akan diperbesar. Anggaran militer Indonesia tahun 2004 hanya Rp 21,42 triliun, di tahun 2013 menjadi Rp 84,47 triliun. Nilai akumulatif anggaran pertahanan dari tahun 2004 hingga 2013 mencapai Rp 440,94 triliun.

Peningkatan itu sesuai dengan kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membangun kekuatan nasional. Pada era pemerintahannya, periode 2004-2014, alat utama sistem kesenjataan nasional yang dibelinya, di antaranya adalah pesawat Sukhoi-27SK/30 MK, korvet kelas Sigma, pesawat embraer EMB 314 Super Tucano sebagai pesawat pengganti OV-10.

Selain itu, juga heli tempur AH-64D Apache, dan tank amfibi BMP-3. Ada pula hibah 24 F-16 dari pemerintah AS. Jumlah prajurit juga ditambah. Jumlah personel TNI meningkat dari 353.965 orang di tahun 2004 menjadi 415.805 orang pada 2013.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement