Jumat 20 Jun 2014 13:21 WIB

Tak Semua Bekas Hutan Bisa Jadi Sawah

Sawah (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Sawah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat lahan pertanian tanaman dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, I.W Mella mengatakan tidak semua lahan bekas penebangan hutan, layak dijadikan areal pertanian.

"Lahan bekas penebangan hutan yang terbengkalai atau rusak seluas 77 juta ha yang direncanakan akan dimanfaatkan untuk pencetakan sawah baru memang ada di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi serta Papua, tetapi hanya sedikit saja luasan yang layak untuk usaha pertanian," kata I.W Mella, di Kupang, Jumat (20/6).

Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan visi misi capres Prabowo Subianto yang ingin memanfaatkan 77 juta lebih hektare lahan bekas hutan yang sudah rusak untuk usaha pertanian, jika dipercayakan oleh rakyat untuk memimpin bangsa ini lima tahun ke depan.

Mella mengatakan, pada 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Agroklimat dan Tanah Bogor melakukan survey tingkat detil di 13 lokasi potensial terbesar, untuk pencetakan sawah yang tersebar di delapan provinsi yakni Bengkulu, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah.

Hasil survei berkesimpulan bahwa dari total luas potensial 17.128 ha, yang sesuai untuk sawah irigasi yang kesuburan dan topografinya relatif mudah diatasi hanya seluas 10.946 ha atau 64 persen dari luas potensial.

Lahan untuk sawah rawa 2.171 ha dengan kendala gambut dan genangan, serta luas lahan kering untuk tanaman pangan 636 ha dan untuk tanaman perkebunan 973 ha, dengan kendala lereng curam dan kesubuan rendah.

"Jadi survey ini menyimpulkan luas lahan sesuai dan bersyarat adalah 14.726 hektare atau 86 persen," katanya.

Dia menjelaskan, ada sebagian lahan tersebut boleh jadi adalah lahan rawa dan gambut. Lahan ini biasanya memiliki sifat yang kurang menguntungkan dari segi kesuburan maupun lingkungan.Jika lahan sejenis ini dikonversi menjadi lahan pertanian, maka masukkan teknologinya harus tinggi.

Misalnya, penurunan keasaman tanah yang memang sudah rendah akan menjadi lebih rendah, sehingga penggunaan kapur untuk menaikkan pH tanah menjadi sangat krusial, katanya.

Disamping itu, lanjutnya, dampak terhadap lingkungan juga harus diperhitungkan dengan seksama, seperti berapa banyak gas methan dan karbondioksida yang dilepas ke atmosfir.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement