REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Volume ekspor salak pondoh dari Kabupaten Sleman masih rendah. Padahal, ekspor dinilai bisa menjadi langkah antisipasi untuk menghadapi menurunnya harga salak saat panen raya.
Ketua Asosiasi Petani Salak Sleman Primasembada, Iskandar mengungkapkan volume ekspor salak pondoh dari petani anggotanya masih sekitar 20 persen dari panen. Volume ekspor masih rendah terjadi karena negara tujuan terbatas. "Kami baru bisa ekspor ke Cina, Singapura, Hongkong, dan Dubai karena negara lain menerapkan verifikasi ketat," ujarnya dikonfirmasi Kamis (19/6).
Petani salak Sleman belum dapat menembus pasar Eropa dan Amerika Serikat lantaran syarat yang ketat. Cina menjadi negara pengimpor salak terbesar dengan rata-rata volume ekspor petani mencapai 5 ton perminggu. Singapura mengimpor salak 1-2 ton perpekan. Sementara, Dubai mencapai 1 kuintal perpekan.
Menurut Iskandar, Eropa dan Amerika Serikat menyaratkan sertifikat organik dan perdagangan yang transparan. "Kami masih proses mempersiapkan sertifikat itu, kalau sudah turun baru bisa ekspor salak ke Eropa dan Amerika," ungkapnya.
Rendahnya nilai ekspor salak juga disebabkan sejumlah petani masih mengurus izin pergudangan. "Ada beberapa petani yang izin gudangnya habis dan masih proses perpanjangan," ungkap Iskandar.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Petani Salak Mitra Turindo, Sari Siswanto mengungkapkan petani salak di Sleman baru mengekspor 2 persen dari panen salak untuk ekspor. Negara tujuan ekspor masih terbatas yakni Cina dan Singapura. "Persentase pemenuhan pasar lokal di Sleman 30 persen, sementara ke luar kota 68 persen," ungkapnya.
Sepanjang 2014, petani salak Mitra Turindo sudah memanen 108.120 kilogram salak. Pada 2013, produksi salak mencapai 234.160 kilogram.