Rabu 18 Jun 2014 14:57 WIB

'Tak Ada yang Tega Keluarganya Jadi Pelacur'

Rep: c92/ Red: Mansyur Faqih
Mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) melakukan aksi longmars ke gedung DPRD mendukung penutupan lokalisasi Dolly Surabaya di Jombang, Jawa Timur, Rabu (18/6).
Foto: antara
Mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) melakukan aksi longmars ke gedung DPRD mendukung penutupan lokalisasi Dolly Surabaya di Jombang, Jawa Timur, Rabu (18/6).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muzni Amir menyatakan, apresiasinya atas langkah Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini untuk menutup Dolly. Langkah itu dinilai tepat untuk menanggulangi masalah moral di Dolly. Mulai dari sosial kemanusiaan, hukum, dan ekonomi.

"Dari aspek kemanusiaan, yang punya anak dan keluarga yang berprofesi sebagai pelacur pasti tidak akan tega keluarganya berprofesi seperti itu," ujar Muzni kepada Republika, Rabu (18/6).

Menurutnya, langkah itu juga tepat secara hukum. Jarena hukum tidak memberikan toleransi adanya lokalisasi prostitusi. Karenanya, keberadaan Dolly sebagai tempat lokalisasi dianggap sebagai hal yang salah dan melanggar hukum. 

Secara ekonomi, Muzni menilai, para pekerja seks komersial (PSK) di Dolly tidak akan dapat hidup damai dengan masa depan cerah dengan profesi saat ini. Yang banyak diuntungkan justru para germo dan pedagang di sekitar lokasi. 

Yang terpenting, katanya, Pemkot Surabaya dapat melakukan tindakan lanjutan setelah menutup Dolly. Apalagi, pemkot memiliki dana dan sumber daya yang cukup untuk memberikan keterampilan dan kepakaran kerja bagi para PSK di Dolly. 

"Mereka bisa dilatih untuk menjadi tukang rias salon, pedagang kue. Ramadhan ini kan banyak pesanan kue, bisa jadi pemasukan untuk mereka," ujar Muzni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement