Senin 09 Jun 2014 03:33 WIB

'Ihan' Batak Kian Langka di Danau Toba

Budidaya ikan di Danau Toba (ilustrasi)
Foto: Septianda Perdana
Budidaya ikan di Danau Toba (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Populasi "ihan" (ikan) batak saat ini kian langka di Danau Toba, Sumatera Utara, akibat penangkapan yang terus berlangsung, sementara perkembangbiakannya di alam menurun. Padahal, ihan memiliki nilai tersendiri dalam upacara adat Batak.

"Ihan batak dalam bahasa latin disebut Neolissochilus thienemanni. Sekarang populasinya kian terancam akibat penangkapan berlebihan," kata staf Dinas Pertanian Perikanan Kabupaten Tobasa, Siahaan di Balige, Minggu.

Indikasi kelangkaan ihan itu terlihat dari semakin jarangnya ikan ditemukan di perairan Danau Toba. Jika kebetulan dapat ditangkap oleh para nelayan, ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan sebelumnya.

Bahkan, kata dia untuk saat ini, jangan berharap ihan batak dapat ditemukan di Danau Toba. Sebab berdasarkan informasi nelayan dan penduduk di sekitar perairan tersebut, ihan sudah sangat sulit ditemukan.

Memang, dulu sekitar tahun 1980, ihan hasil tangkapan nelayan dari Danau Toba masih mudah didapatkan dan dengan gampang bisa dibeli di pasar tradisonal Kota Balige.

Pada zaman dulu, penangkapan ihan di Danau Toba biasanya dilakukan para nelayan dengan menggunakan sabaran berupa susunan batu di tepi danau sehingga ihan masuk dengan tenang.

Setelah ikan-ikan masuk, pintu sabaran ditutup lalu dilakukan penangkapan.

Dengan cara demikian, menurut dia, tidak terjadi pemburuan ke lubuk pemijahannya yang dapat mengganggu pertumbuhan jentik. Hal tersebut berbeda jauh dengan cara-cara yang dilakukan nelayan saat ini.

Siahaan mengaku hingga kini Dinas Pertanian setempat belum membudidayakan ihan batak secara khusus.

"Kita hanya dapat menganjurkan agar para nelayan menghindari penangkapan dengan cara-cara yang tidak benar, seperti melakukan penyetruman menggunakan listrik atau aki, agar populasi ihan tersebut dapat dipertahankan," katanya.

Kelangkaan ihan itu berdampak terhadap pergeseran tatalaksana adat istiadat di kalangan masyarakat Batak. Sehingga dewasa ini, posisi ihan banyak digantikan dengan ikan mas untuk acara "upa-upa" (selamatan atau syukuran).

Pardede, seorang nelayan dari Lumbanbulubul menyebutkan, saat ini ihan batak lebih banyak mereka tangkap dari sungai-sungai yang beraliran deras yang bermuara ke Danau Toba, yang merupakan habitat asli dari ikan tersebut.

Ia berharap, Dinas Pertanian setempat dapat membuat program untuk melestarikan ihan batak, karena nilai ekonomis dan nilai sosialnya sangat tinggi dalam masyarakat Batak.

Menurut dia, eksistensi ihan batak yang legendaris itu, harus dapat dipertahankan. Apalagi, ada keyakinan bagi masyarakat Batak, bahwa orang yang memakannya akan mendapat keberuntungan besar.

"Sekarang sudah sangat sulit untuk memperoleh ihan batak. Kalaupun ada hasil tangkapan, merupakan rezki besar karena harga jualnya bisa mencapai Rp300 ribu per ekor," katanya.

Habitat Asli

Habitat asli ihan batak berada di Mual sirambe, satu embung kecil yang airnya jernih dan dingin, mengalir dari celah bebatuan, di Desa Bonandolok, Kecamatan Balige, sekitar 250 kilometer dari Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara.

Kualitas air sirambe sangat sesuai untuk syarat hidup ikan langka ini, yakni hanya bisa hidup pada air jernih yang terus mengalir deras, dengan suhu relatif rendah, 21-25 derajat Celcius.

Marlon, seorang penduduk Desa Sirambe menuturkan, mereka tidak pernah mau menangkap ikan tersebut dari mual Sirambe dan bahkan tidak berani untuk memakannya, karena terlarang sejak dahulu.

Ikan itu mereka yakini sebagai perwujudan dari "namboru boru Siagian", penunggu embung yang memilih akhir hidupnya di sana.

Konon, kata Marlon menuturkan, pada zaman dulu kala, seorang putri dijodohkan orangtuanya dengan pria yang tidak disukainya. Lalu, sang putri lari dan bersembunyi ke daerah Aek Sirambe. Sebongkah batu ditafsirkan sebagai pertanda.

Ihan itu, kata dia, jarang menampakkan wujudnya. Bila nampak, itu sebagai pertanda rezeki besar bagi yang melihatnya.

"Batu itu diyakini sebagai perwujudan dari namboru boru Siagian yang menjadi penghuni Mual Sirambe, dan hinggi kini penduduk tidak berani mengusik ihan-ihan dekat batu di mual tersebut," katanya.

Di sebelah hilir mual Sirambe, Dinas Pertanian dan Perikanan Tobasa telah membangun kolam penampungan agar ikan yang keluar dari embung dapat tertampung.

Kolam itu dibangun untuk pembiakan ihan, yang selanjutnya dilepas ke hilir sungai. Bila ini berhasil, sungai itu akan dipenuhi ihan yang dapat ditangkap dan dimakan.

Namun sampai sekarang, kolam penampungan tersebut tidak difungsikan secara optimal, dan terkesan kurang diurus. Sehingga, upaya pemerintah dalam melestarikan ihan batak dimaksud belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan warga.

Selain di Mual Sirambe, Sungai Binangalom di Kecamatan Lumbanjulu, juga merupakan habitat ihan batak, meski populasinya tidak begitu banyak.

Sitorus, warga Lumbanjulu mengatakan, masyarakat setempat yang akan menangkap ihan dari sungai itu memiliki aturan dan cara tersendiri.

Tujuannya, agar tidak terjadi perusakan, apalagi niat untuk menghancurkkan ikan sakral tersebut.

Sitorus mengaku, warga desa setempat pernah merasa sangat marah dan kecewa terhadap sejumlah penduduk dari desa lain yang datang menangkap ikan di Sungai Binangalom dengan menggunakan aki untuk strum.

"Penggunaan aki untuk menyetrum akan membunuh anak-anak ihan yang masih kecil, sehingga menghambat perkembangbiakan ikan yang semakin langka tersebut," kata Sitorus. (H. Imran Napitupulu)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement