REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Membicarakan Kolonialisme Bangsa Belanda di Nusantara tak musti melulu tentang penderitaan kaum Bumi Putera.
Banyak cerita menarik, bahkan terkadang menggungah, bisa ditelusuri dari catatan sejarah kehadiran Belanda di tanah yang sekarang bernama Indonesia ini. Salah satu tema menarik adalah soal teh.
Dari seorang peminat sekaligus dokumentator teh, Prawoto Indarto, Republika menelusuri cerita mengenai seluk-beluk teh masa Hindia Belanda.
Suatu sore awal pekan lalu, pria 50 tahuan yang akrab disapa Pak In itu mengundang kami minum teh di kedai Siang Ming Tea, yang konon merupakan kedai teh pertama di Jakarta. Ditemani sang pemilik kedai, Suwarni Widjaja, Indarto berbagi cerita dengan antusias.
Dia kisahkan, Pulau Jawa, pusat Hindia Belnda ketika itu adalah salah satu pemain kunci dalam perniagaan teh dunia. Teh yang sepanajang sejarahnya hanya dikenal di Tiongkok, lalu kemudian Jepang, mulai menuai popularitas di Eropa memasuki abad ke-17.
Melihat sebuah prospek bisnis yang bagus, tahun 1610 Belanda menjadi pelopor perdagangan teh di Eropa hingga Amerika Serikat. “Mereka mengangkut teh dari China, lalu mengapalkannya melalui Jawa, dari pelabuhan Banten,” ujar pria beruban itu.
Menurut Indarto, dominasi Belanda dalam perdagangan teh mulai menghadapi rintangan ketika Inggris yang mengkoloni Tiongkok mendapat hak monopoli perniagaan teh. Hal tersebut yang mendorong Belanda untuk membuka perkebunan teh sendiri.
Setelah serangkaian percobaan, tahun 1827 menandai keberhasilan penting Belanda membudidayakan teh di Pulau Jawa, yakni di daerah Wanayasa (Purwkarta) dan Raung (Banyuwangi).
Diceritakan Indarto, produksi masif teh di Pulau Jawa berlangsung semasa kekuasaan Gubernur Jenderal van De Bosch (1830-1870). Melalui politik tanam paksa (culture stelsel), teh menjadi salah satu komoditi wajib yang musti ditanam rakyat.
Tahun 1833, 1,7 juta batang teh berhasil di tanam di Jawa dan Sumatra. Pada 1835, 200 peti teh Pulau Jawa untuk pertama kali memasuki pasar Eropa dan diikutkan pada pelelangan di Amsterdam.
Dia melanjutkan, dalam tahap selanjutnya, teh asal Pulau Jawa menjadi salah satu komoditas besar di Eropa, selain teh dari perkebunan Tiongkok dan Jepang. Produksi teh Nusantara, khususnya Jawa, mulai menurun pascanasionalisasi perkebunan-perkebunan teh oleh pemerintah Indonesia di era kemerdekaan.
Menurut Indarto, posisi Indonesia hari ini terus merosot dalam peringkat negera eksportir teh. Tahun 2013, Indonesia hanya berada pada posisi ke delapan negara pengekspor teh terbesar. Indarto merasa prihatin, prestasi teh Jawa yang pernah menjadi pemain penting di dunia masa Hindia Belanda tidak mampu diteruskan bangsa Indonesia pascakemerdekaan.
Belakangan, dia mendengar pemerintah mengalami kerugian dalam bisnis teh dan berencana melakukan alih fungsi lahan hingga 10 hektare. “Kita cuma maju tahunnya aja. Ini gimana, coba?” seloroh pria humoris itu.