REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti meminta agar Ujian Nasional (UN) hanya dijadikan alat pemetaaan kualitas pendidikan di setiap daerah, bukan sebagai penentu kelulusan anak.
Misalnya saja, ujar Retno, sekolah A nilai UN bahasa Inggrisnya jeblok, maka harus dicari tahu penyebabnya. Misal ternyata sekolah itu tidak punya laboratorium bahasa, maka pemerintah bisa memberikan solusi dengan membangun laboratorium bahasa untuk meningkatkan skill bahasa Inggris anak-anak.
Lalu, kata Retno, misal sekolah B nilai UN matematikanya buruk, harus diselidiki apa penyebabnya. Kalau ternyata gurunya yang tidak kompeten, maka guru bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan kualitasnya.
"Jadi hasil UN itu sebaiknya hanya untuk memetakan kekurangan dan kelebihan sekolah yang satu dengan lainnya. Tidak usah dijadikan alat penentu kelulusan," ujar Retno.
Ia mengaku prihatin dan kasihan dengan anak-anak di Aceh yang banyak tidak lulus. "Masak karena kuranganya fasilitas dan prasarana pendidikan, mereka akhirnya harus tidak lulus UN, ini tidak adil," katanya.
Namun, terang Retno, pada tahun lalu hasil UN Papua lebih baik dari pada Yogya. Ini merupakan sesuatu yang aneh, secara logika Yogya sarana, fasilitas, juga kualitas pendidikannya jauh lebih baik dari pada Papua, namun mengapa kalah dari Papua hasil UN-nya.
Selain itu, ujar Retno, Sulawesi Barat yang merupakan provinsi baru hasil UN tahun lalu mengalahkan Sulawesi Selatan yang merupakan provinsi lama. Masak dengan sarana pendidikan yang sangat minim bahkan minus hasil UN Sulawsi Barat lebih bari dari Sulawesi Selatan.
"Apa benar data-data yang dirilis oleh Kemendikbud, mencerminkan keadaan pendidikan setiap daerah. Saya meragukan itu," ujar Retno.