Ahad 18 May 2014 21:44 WIB

Pemilu tak Pengaruhi Permintaan Properti di Yogyakarta

Rep: Heri Purwata/ Red: Muhammad Hafil
Kenaikan harga yang rutin membuat investasi properti masih jadi primadona.
Foto: Yasin Habibi/Republika
Kenaikan harga yang rutin membuat investasi properti masih jadi primadona.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden (Pileg dan Pilpres) tidak mempengaruhi minat masyarakat untuk membeli properti di Yogyakarta. Minat yang tinggi ini membuat kenaikan harga properti di Yogyakarta berkisar 25-30 persen setiap tahunnya.

Demikian dikatakan D Agung Krisprimandoyo, Direktur Citra Grand Mutiara Yogyakarta kepada Republika di sela-sela penyerahan enam rumah siap huni di Jalan Wates Yogyakarta, Ahad (18/5). Enam rumah tersebut diserahkan kepada pembeli pertama yang telah akad kredit 18 bulan lalu.

Citra Grand Mutiara mengembangkan perumahan di Jalan Wates Km 9 dengan luas areal 10 hektare. Di atas tanah tersebut dibangun sekitar 350 rumah berbagai tipe dan juga akan dikembangkan sebagai pusat perbelanjaan.

Lebih lanjut Agung mengatakan para peminat properti di Yogyakarta mempunyai berbagai tujuan. Di antaranya, sebagai tempat hunian, digunakan sebagai investasi dan diperuntukan bagi anaknya yang sedang kuliah di Yogyakarta.

Tingginya permintaan akan properti ini membuat suplai rumah selalu terserap di pasaran. Bahkan ada kecenderungan permintaan lebih besar dibandingan dengan suplai yang mengakibatkan harga properti di Yogyakarta mengalami kenaikan 25-30 persen setiap tahunnya. "Bila dibandingkan dengan daerah Jawa Tengah, kenaikan harga properti di Yogyakarta paling tinggi," kata Agung.

Dijelaskan Agung, minat masyarakat membeli properti lebih suka di lokasi pengembang yang memiliki lahan yang luas dibandingan dengan lahan yang sempit. Sebab pengembang yang memiliki lahan luas  pembangunan keberlanjutan. Sehingga tempat tersebut akan menjadi tempat yang semakin ramai dan harga tanah atau rumah pun akan semakin melonjak. "Berbeda dengan lahan sempit yang lansung selesai pengembangannya," katanya. 

Semakin tingginya minat memiliki properti di Yogyakarta membuat lahan semakin jarang. Sehingga para pengembang, khususnya yang mengincar di wilayah Kota Yogyakarta telah beralih dengan mengembangkan apartemen dan kondotel. "Saat ini di Yogyakarta telah berdiri sekitar 20 tower yang telah dan akan dijadikan apartemen dan kondotel," kata Agung.

Selama tahun 2014, kata Agung, ada kendala dalam penjualan properti yaitu adanya surat edaran Bank Indonesia yang menaikan down payment (DP) untuk KPR kedua dan ketiga. "Adanya SE BI ini pasar agak tertahan. Namun market, developer dan bank sudah bisa menyesuaikan," katanya.

Selai SE BI, abu Gunung Kelud yang melanda Yogyakarta juga menjadi kendala orang untuk membeli properti di Yogyakarta. "Orang enggan ke Yogyakarta karena kotor abu Kelud. Tapi kini mereka sudah tak terpengaruh lagi," kata Agung. 

Namun kendala itu tampaknya tidak berlangsung lama dan kini sudah pulih kembali. Menurut Agung, jika pembeli menunda-nunda pembelian properti di Yogyakarta akan semakin tidak terjangkau. "Di Yogyakarta, orang membuat keputusan untuk membeli rumah cepat sekali. Mereka takut tidak bisa membeli, karena harga terus naik," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement