REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Indonesia dinilai berstatus darurat perlindungan anak. Masa depan anak terancam, karena banyak yang menjadi korban kekerasan.
"Saya sendiri mencatat 459 laporan kekerasan anak terjadi sejak awal 2014," jelas anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati, saat dihubungi, Ahad (11/5).
Kasus kekerasan terhadap anak mencuat, karena kesadaran meningkat. Banyak korban anak yang mengalami kekerasan melapor setelah munculnya kasus Emon. Dulu, pada saat kasus Robert Gedek mencuat, pemerintah dinilainya tidak melakukan apa - apa. Aksi pencegahan agar tidak terjadi lagi kekerasan terhadap anak tidak ada. Maka muncullah pelaku baru, seperti Babeh dan Emon.
Menurutnya, peraturan perundang - undangan terkait perlindungan anak harus direvisi. Perlindungan anak harus dibahas komprehensif. Tidak bisa sekadar pengasuhan dan ancaman hukuman. "Harus lebih komprehensif," imbuhnya.
Indonesia dinilainya sangat lamban dalam perlindungan anak. Baru pada 2009 lalu memiliki nomenklatur perlindungan anak. Daerah - daerah di seluruh Indonesia tidak kalah lambannya merespon perlindungan anak. Hal ini menjadikan anak sebagai masa depan bangsa ini terancam aksi kejahatan yang dilakukan mereka yang tidak bertanggungjawab.
Rita menyatakan akar permasalahan ini semua adalah pola asuh. Pelaku kekerasan terhadap anak dipastikannya memiliki ketidakpuasan pada masa kecilnya. Pola asuh yang tidak diimbangi nilai agama dan pendidikan karakter yang mumpuni membuat anak ingin melakukan kekerasan.
Belum lagi jika orang tua acuh tak acuh. Anak dibiarkan menonton TV terus - menerus. Bahkan ketika ada tayangan berbau kekerasan, anak dibiarkan nonton. Kemudian tidak diimbangi pengetahuan akhlakul karimah. "Jadilah kekerasan itu yang dicontohnya," imbuh Rita.
Dia menyatakan pola asuh harus diperhatikan, agar anak dapat tumbuh dengan baik. "Merekalah nantinya yang meneruskan masa depan bangsa ini," imbuhnya.