Sabtu 10 May 2014 01:11 WIB

Kasus TBC di Depok Dapat Diawasi dan Ditanggulangi

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Bilal Ramadhan
Penyakit TBC (ilustrasi).
Foto: gsahs.nsw.gov.au
Penyakit TBC (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK-- Masih dalam rangka pemberantasan TBC, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menggelar acara Sosialisasi International Standard For Tuberculosis (ISTC) yang berlangsung dua hari di di Hotel Bumi Wiyata Depok, pada 8-9 Mei 2014. Acara tersebut dihadiri oleh Ketua IDI dr. Gamal dan 30 peserta sosialisasi yang juga berprofesi sebagai dokter swasta di Kota Depok.

''Mengenai bahaya dan dampak yang ditimbukan dari penyakit TBC serta menjelaskan pertumbuhan di Kota Depok yang sangat pesat, lengkap dengan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS),'' ujar Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, dr Noerzamanti Lies menjadi pembicara di hari kedua acara sosialisasi tersebut pada Jum’at (9/5).

Lies mengatakan kegiatan yang bekerjasama dengan IDI diharapkan penemuan kasus TBC di Depok dapat diawasi dan ditanggulangi. Di Depok terdapat 19 rumah sakit, diantaranya 17 rumah sakit swasta dan dua rumah sakit milik pemerintah.

Diungkapkan Lies, menurut data yang dihimpun, 55,6 persen pada tahun 2011-2013 kasus TBC sudah dapat ditanggulangi dan sisanya akan ditanggulangi bekerjasama dengan IDI. Banyak pasien yang tidak mau dirujuk bukan karena tidak mampu membeli obat tetapi karena malu, stigma masyarakat masih lekat bahwa penderita TBC harus di jauhi.

''Klinik menyediakan ruangan khusus untuk penderita TBC, dari situ saja sudah dapat membuat opini masyarakat yang negatif sehingga pasien enggan berobat,'' terang Lies yang juga berpesan, strategi efektif dalam pencegahan TBC adalah dengan menelan obat dalam jangka pendek.

''Teman-teman dokter juga harus peduli untuk meningkatkan cakupan sampai 70 persen. Seorang dokter juga harus memiliki komitmen politik, komitmen yang dimaksud antara lain, dokter harus diagnosa TBC melalui temuan BTA secara mikroskopis, lakukan pengobatan penderita dan harus diawasi oleh PMO, penyediaan obat anti TBC dan pencatatan dan pelaporan baku,'' tutur Lies.

Menurut Lies, peserta yang ikut pelatihan di sosialisasi ini, nantinya akan di tugaskan untuk memberikan obat pada puskesmas, diluar peserta dilarang memberikan obat. Diikuti juga dengan pemberian terapi dari proses pemeriksaan sampai obat habis. Satu pasien untuk satu dokter yang merangkul.

Jika strategi ini gagal maka akan dikhawatirkan kasus kematian akibat TBC meningkat akibat minimnya data informasi yang didapat dan TBC menjadi epidemik yang sulit diobati. Dengan adanya kerjasama ini diharapkan agar praktek di lapangan dapat tersosialisasi dengan baik dan benar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement