REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengamati peta politik yang terjadi jelang pilpres 2014. Ia pun mengamati janji para capres belakangan ini. Menurutnya, ada janji kampanye yang justru berpotensi membahayakan. Ia pun menegaskan tak akan mendukung capres tersebut.
"Saya tegas mengatakan tidak akan pernah mendukung capres mana pun kubu mana pun yang janji-janjinya itu justru membahayakan kehidupan bangsa kita. Itu yang saya maksudkan bahwa saya peduli dengan platform dan janji-janji yang disampaikan capres," katanya dalam program wawancara khusus yang diunggah di Youtube dengan judul Sikap SBY atas Janji-Janji Kampanye Para Capres.
Menurutnya, saat ini ada beberapa janji capres yang membahayakan. Meski pun kesan yang ditimbulkan dari janji tersebut terbilang heroik.
Misalnya, janji akan menasionalisasi aset asing dan diambil alih seluruhnya oleh pemerintah. Janji tersebut memberikan kesan hebat, berani, tegas, dan memiliki nasionalisme yang tinggi. Tetapi, ia meminta agar hal tersebut dilihat secara utuh.
Menurutnya, tak sedikit aset yang perjanjiannya bahkan dilaksanakan sejak era Presiden Sukarno hingga saat ini. Jika nasionalisme secara gegabah dilakukan, bukan tak mungkin Indonesia akan digugat ke arbitrase internasional. Jika kalah, maka perekonomian dipastikan akan porak poranda.
"Menurut saya kalau memang ada seorang capres bersikukuh bahwa akan melaksanakan nasionalisasi semua aset di indonesia ini, saya tidak akan memilihnya, tidak akan mendukungnya, karena saya tahu risikonya dan itu akan membawa malapetaka bagi perekonomian kita," katanya.
Menurutnya, kerja sama dengan asing tidak boleh merugikan negara. Demikian juga dengan kontrak, tidak boleh hanya menguntungkan asing. Karena itu, ia menyatakan setuju bila pada masa mendatang setiap kerja sama dilakukan secara adil, dan Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Tak hanya soal nasionalisasi, ada pula janji lain yang dianggapnya cukup berbahaya. Yakni janji untuk mengembalikan UUD 1945 sebelum mengalami perubahan dan menjalankan sistem presidensial murni, MPR memegang kendali pemerintahan dan kenegaraan, dan pemilu digelar tidak langsung.
Ia mengatakan, janji tersebut berbahaya dan bisa mengganggu stabilitas politik secara nasional. Di era reformasi, katanya, ada yang kebablasan, tetapi hal tersebut bisa diperbaiki. Namun, bukan justru kembali ke masa lalu dan bergerak mundur.
"Itu mudah diucapkan, tetapi bagaimana implementasinya. Apakah tidak akan mengganggu stabilitas politik secara nasional? Apakah itu tidak membalik jalannya sejarah? Saya tidak bisa membayangkan kalau itu betul-betul dijadikan dan akan dilaksanakan. Bila Indonesia harus bergerak mundur, kembali ke UUD 1945, akan menimbulkan ketidakstabilan yang mengganggung jalannya pemerintahan,” katanya.