Selasa 06 May 2014 20:45 WIB

Ketika Politik Dianggap Dominasi Komisi Negara

Rep: Andi Mohammad Ikhbal/ Red: Julkifli Marbun
Suasana rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Suasana rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepentingan politik dinilai mendominasi sebagian besar proses rekrutmen anggota komisi negara. Bagaimana mereka bisa independen kalau DPR terlibat langsung di balik layar seleksi kepengurusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Komisi Yudisial (KY).

Hal tersebut yang dipertanyakan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang Saldi Isra melalui /video conference/ saat membacakan keterangan ahli di uji materi UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY dan UU No. 30 Tahun 2002 tetang KPK.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang keempat Judicial Review atas UU dengan No. 16/PUU-XII/2014 tersebut pada Selasa (6/5). Agenda sidang atas permohonan Rektor UII Edy Suandi Hamid ini adalah mendengarkan keterangan DPR, serta saksi dan ahli pemohon serta pemerintah.

“Untuk menjaga kemandirian dan independensi dua komisi negara tersebut, maka perlu diubah pola rekrutmennya. Dalam hal ini presiden dan DPR harus dibatasi sehingga, ruang intervensi politik dapat ditekan semaksimal mungkin,” kata Saldi.

Ketika membatasi wewenang politik, pola rekrutmen yang melibatkan pihak nonpartisan dan profesional dibuka secara lebih luas. Kewenangan memang sudah dilimpahkan ke panitia seleksi dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat.

Namun, dia menilai, DPR tetap memiliki peran sebagai pemegang kendali untuk memilih dan menetapkan siapa orang yang akan menjadi pimpinan atau komisioner KPK dan KY. Kalau ingin ada keseimbangan, maka  hak legislatif juga harus dikurangi.

“DPR tidak perlu diberi kewenangan untuk memilih, melainkan cukup untuk menyetujui atau tidak menyetujui. Proses demikian tentunya akan lebih mempersempit ruang intervensi politik,” ujar dia.

Sementara, guru besar Ilmu Administrasi Negara UGM Miftah Thoha mengatakan, pejabat negara yang berasal dari partai politik dan dipilih rakyat, warna politiknya sangat kuat. Ia berpendapat, pengangkatan pimpinan komisi negara tak perlu lagi approval DPR.

"Pengangkatannya para pejabat negara tersebut cukup berada di wilayah ranah kekuasaan presiden sebagai kepala negara supaya tidak diintervensi kepentingan politik dari anggota partai politik DPR,” ujar Miftah.

Sebelumnya, pemohon Edy Suandi Hamid menilai kewenangan DPR yang dapat memilih calon anggota KY dan KPK kebablasan. Menurut dia, hak para politisi tersebut justru akan memengaruhi independensi, di mana DPR sendiri punya potensi melanggar hukum.

Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Zairin Harahap menilai Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945.

“Keterlibatan DPR dalam menentukan calon anggota KY dan calon anggota KPK sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal a quo sangat bertentangan dengan tujuan pembentukan KY dan KPK sebagai lembaga negara yang independen,” kata Zairin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement