REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus bailout Bank Century dinilai memang rumit. Ahli hukum perbankan Pradjoto mengatakan, kerumitan ini muncul karena bahasa perbankan dikupas dengan bahasa politik, yang menggiring kasus ini ke proses hukum.
Pada 2008, kata Pradjoto, tidak kurang tiga Perpu lahir sebagai reaksi dari adanya ancaman krisis. "Itulah suasana ketika Bank Century tiba pada titik krisis ekonomi dan likuiditas, yang dialami bank lainnya juga," kata Pradjoto pada pesan singkat di Jakarta, Jumat (2/5).
Terlepas Bank Century sehat atau tidak, ia menegaskan BI sebagai lender of the last resort memiliki kewajiban untuk membantu bank yang kekurangan likuiditas. Dalam hal ini Bank Century mendapat Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP).
Saat itu level rasio kecukupan modal Bank Century di bawah normal. Karena itu, kata Pradjoto, BI mengubah ketentuan rasio kecukupan modal agar bank yang mengalami kekurangan likuiditas dapat secara leluasa meminta FPJP.
Pertanyaannya, kata dia, apakah perubahan kebijakan itu bisa disebut sebagai sebuah tindak pidana kejahatan? Menurut dia, hal ini harus dilihat dari falsafah hukum yang mendasarinya.
Pertama, kata Pradjoto, apakah perubahan itu dilakukan oleh pihak yang berwenang atau mendapat kewenangan atas dasar UU. Kedua, adakah iktikad jahat ketika melakukan perubahan itu. Ketiga, adakah tindakan yang bersifat koruptif dengan menerima imbalan, dalam bentuk apapun, ketika melakukan perubahan itu.
"Kalau ketiga pertanyaan tadi dapat dijawab dengan gamblang, maka pertanyaannya menjadi apakah perubahan ketentuan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang masuk ke dalam wilayah hukum administrasi negara atau hukum pidana?" kata Pradjoto.
Jika pertanyaan yang terakhir ini tidak bisa dijawab dengan gamblang, maka Pradjoto mengingatkan agar para pejabat bersiap siap untuk menjadi tawanan politik dari setiap keputusan yang diambil.