REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro meminta pemerintah menjamin ketersediaan pasokan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan pipa transmisi Cirebon-Semarang yang akan dibangun PT Rekayasa Industri (Rekind).
Pemerintah, menurut dia di Jakarta, Minggu, tidak bisa membiarkan saja Rekind tidak memperoleh pasokan gas.
"Dulu sudah ditetapkan sebagai pemegang hak khusus Cirebon-Semarang, pemerintah harus bertanggung jawab dan konsisten menyediakan pasokan gasnya," ucapnya.
Rekind mengembalikan hak khusus pipa gas Cirebon-Semarang ke pemerintah, menyusul ketiadaan pasokan gas sejak mendapat hak khusus melalui Keputusan Kepala BPH Migas pada 21 Maret 2006.
Pengembalian tersebut terungkap dalam surat Dirut Rekind M Ali Suharsono tertanggal 4 April 2014 kepada Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy N Sommeng.
Komaidi setuju rencana pemerintah untuk memasok gas Cirebon-Semarang dari terminal LNG terapung (FSRU) di laut utara Semarang, Jateng.
"Namun, pemerintah juga jangan lepas tanggung jawab untuk menyediakan pasokan gas FSRU Jateng sesuai kebutuhannya," ujarnya.
Dirjen Migas Kementerian ESDM Edy Hermantoro telah mengatakan, pemerintah mempertimbangkan pasokan gas FSRU Jateng untuk memenuhi kebutuhan pipa Cirebon-Semarang.
Komaidi memperkirakan, hampir sebagian besar wilayah di Indonesia akan mengalami krisis gas di masa depan, karena ketiadaan infrastruktur.
"Krisis gas bukan karena ketiadaan pasokan, tapi infrastruktur yang tidak ada," tuturnya.
Sementara, Agus Pambagio menilai, prioritas pertama adalah menjamin kepastian gas Rekind.
Jika memang Rekind tidak mau melanjutkan, maka opsi yang bisa diambil adalah menawarkannya ke PT Pertamina (Persero) sebagai penawar kedua setelah Rekind untuk melanjutkan pembangunan pipa Cirebon-Semarang.
Kalau Pertamina tidak bersedia, bisa ditawarkan ke PT PGN Tbk sebagai penawar ketiga.
"Kalau Pertamina dan PGN tidak bersedia, bisa ditender ulang," katanya.
Ia menolak, jika opsi yang diambil adalah meminta Rekind-Pertamina-PGN bergabung membangun pipa Cirebon-Semarang.
Agus melanjutkan, keberadaan infrastruktur gas seperti pipa Cirebon-Semarang dan FSRU Jateng mutlak membutuhkan kepastian pasokan gas.
"Tanpa ada kepastian gas, infrastruktur akan sulit terwujud," ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, keberadaan infrastruktur gas menjadi semakin penting menyusul Singapura yang secara besar-besaran tengah membangun terminal LNG.
Negara tetangga itu, lanjutnya, telah mendapat komitmen pasokan gas dari AS dengan harga cukup murah.
"Kita tidak boleh ketinggalan. Segera bangun infrastruktur," tegasnya.
Komaidi juga mengatakan, persoalan Rekind mesti menjadi momentum pemerintah untuk konsisten dengan kebijakannya.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki regulasi kewajiban pasok ke dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dan neraca gas yang berpihak pada domestik.
"Namun, tidak jalan sampai sekarang," katanya.
Oleh karena itu, Rekind, lanjutnya, bisa meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah berupa ganti rugi biaya investasi yang sudah dikeluarkan.
Baik Komaidi maupun Agus sepakat, pasokan gas idealnya berasal dari dalam negeri.
Namun, pemerintah juga mesti membuka opsi impor LNG sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur gas.
Sebelumnya, sejumlah perusahaan seperti PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) telah berencana mengimpor LNG untuk memenuhi kebutuhannya.
PLN berencana mengimpor LNG karena masih mengalami kekurangan 22 kargo untuk memenuhi kebutuhan pembangkit pada 2015.
Sementara, Pertamina juga akan mengimpor LNG mulai 2018 yang direncanakan dari AS untuk memenuhi kebutuhan terminal.
Dengan demikian, lanjut Komaidi, sambil menunggu ketersediaan gas dari dalam negeri, opsi impor tetap harus dilakukan sejak saat ini agar keberlanjutan pasokan gas ke infrastruktur terjamin.