REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjanjian antara wakil pemerintah pusat, dalam hal ini PT PLN (Persero) dengan PT Bhimasena Power Indonesia, terkait pembebasan lahan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, tengah dikaji ulang.
Hal tersebut disebabkan semakin dekatnya waktu groundbreaking proyek kerja sama pemerintah swasta itu yakni Oktober 2014, namun masih ada 29 hektare lahan belum terbebaskan.
"Kalau (investor) gak mampu, pemda (pemerintah daerah) gak mampu, kewenangan pengadaan tanah ditarik lagi (dari investor). Dilaksanakan kembali lewat pemerintah yaitu PLN. Bagaimana kaji ulang perjanjian yang dibuat PLN dan BPI, terutama skema KPS (Kerja Sama Pemerintah Swasta). Perlu dicari solusi yang sama-sama menguntungkan kedua pihak," ujar Direktur Pengelolaan dan Pengadaan Tanah Pemerintah Badan Pertanahan Nasional (BPN) M Noor Marzuki kepada Republika Online (ROL), Jumat (25/4).
Noor menjelaskan, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum pada dasarnya telah memiliki dasar hukum yang kuat. Terdapat tiga beleid penopang yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2007.
Akan tetapi, karena pemerintah memiliki keterbatasan anggaran untuk membangun PLTU 2x1000 Megawatt di Batang, maka dikerja-samakan dengan swasta. Keputusan ini diambil beberapa tahun silam. "Begitu kita serahkan kepada swasta, tentu model-modelnya (pengadaan tanah) bergantung kepada swasta. Jika ada penolakan oleh masyarakat, mereka berhak melakukannya. Akibatnya, proyek tidak bisa berjalan," kata Noor.
Untuk mengatasi kebuntuan ini, Noor menyebut pengambilalihan wewenang pengadaan tanah oleh pemerintah pusat dimungkinkan. Nantinya, PLN sebagai wakil pemerintah pusat, dapat melaksanakan hal tersebut.
Pengambilalihan kewenangan ini juga memungkinkan penindakan terhadap mafia tanah di lokasi pembangunan. "Negara tentu harus tegas (terhadap mafia). Ini untungnya negara mengambil alih karena semua sumber daya bisa dikerahkan. Apalagi ini untuk kepentingan umum dalam mencegah krisis listrik 2017 mendatang," kata Noor.
Intinya dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan bagi fasilitas publik, kepentingan umum tidak bisa dikalahkan. Kalau 75 persen masyarakat sudah setuju, maka pembangunan bisa berjalan. Sedangkan sisanya bisa dikonsinyasikan ke pengadilan," ujar Noor.