Jumat 25 Apr 2014 01:45 WIB

KPK Sebut Ditjen Pajak Masih Rawan Gratifikasi

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Mansyur Faqih
Bambang Widjojanto
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Bambang Widjojanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih melihat adanya potensi kerawanan dalam pengurusan pajak di direktorat jenderal pajak (DJP) kemenkeu. Antara lain terkait gratifikasi. Untuk meminimalisasi potensi itu, KPK memaparkan masalah yang ada dengan DJP.

Kamis (24/4), 46 orang dari DJP datang mengikuti diskusi di gedung KPK. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, sektor pajak menjadi penyumbang terbesar, lebih dari 74 persen, bagi penerimaan negara. 

Karena itu, menurut dia, perlu ada langkah pencegahan untuk meminimalisasi titik rawan dalam proses di DJP. "KPK harus mendukung program yang dibangun dalam bagian reformasi birokrasi di kemenkeu, khususnya dalam hal ini DJP," kata dia di gedung KPK, Jakarta.

Salah satu yang mendapat perhatian dari KPK adalah sumber daya pengawasan di DJP. Menurutnya, jumlah pegawai dalam bidang pengawasan justru masih sangat minim. 

Padahal, menurut dia, penerimaan pajak jumlahnya meningkat pesat. Ia menyebut pada 2008 penerimaan pajak senilai Rp 658,7 triliun dan pada 2014 naik sekitar Rp 1.280 triliun. "Sektor pajak ini harus benar-benar menjadi bagian penting yang dibangun untuk bisa meningkatkan penerimaan negara," kata dia.

Bambang juga mengatakan adanya titik rawan dalam peengurusan pajak saat pihak DJP bertemu dengan wajip pajak (WP). Biasanya terjadi dalam proses penyelesaian pemeriksaan mau pun pengujian pembahasan hasil akhir pemeriksaan. 

Menurut dia, dalam proses itu dapat menjadi celah potensi gratifikasi. "Pertemuan seperti ini harus ada mekanisme kontrol. Kalau tidak ada, potensi gratifikasi terjadi di situ," ujar dia.

Titik rawan lainnya, menurut Bambang, seperti saat pemeriksaan selesai atau terbitnya ketetapan pajak untuk pemeriksaan rutin atau restitusi. Ada juga titik rawan dalam pemeriksaan khusus. 

Ia mengatakan, proses itu pun mempunyai potensi gratifikasi. Ini yang dipetakan bersama DJP sehingga meminimalisasi potensi terjadinya gratifikasi. "Karena ini penting supaya kita bisa membangun sistem integritas yang ada dalam DJP," kata dia.

Bambang mengingatkan gratifikasi bisa menjadi tindak pidana. Karena itu pejabat negara atau penyelenggara negara harus melaporkan ke KPK jika menerima pemberian dari pihak lain. Ini juga yang disosialisasikan kepada pegawai DJP. "Lebih baik melaporkan daripada nanti jadi masalah. Kalau sudah langgar prosedur, maka dia jadi tindak pidana," ujar dia.

Sekretaris DJP Awan Nurmawan tidak menyangkal masih adanya potensi kerawanan dalam bisnis proses pengurusan pajak. Namun DJP sudah mempunyai mekanisme pengawasan. Seperti dengan adanya Unit Kepatuhan Internal dan sistem Whistleblowing. 

Awan menghargai adanya upaya KPK untuk mengajak kerja sama dalam memetakan persoalan dan melakukan pencegahan. "Ini tentunya akan lebih lengkap dari instrumen dalam rangka governance yang dimiliki DJP," ujarnya.

Bambang mengatakan, memang berbagai instrumen pengawasan yang ada harus terus disempurnakan. Karena modus kecurangan semakin canggih. Ia menyebut dengan mekanisme kontrol yang ada, faktanya DJP masih 'kebobolan'. 

"Pertemuan ini menjadi bagian proses refleksi bagaimana cara bisa mengelola supaya tidak terjadi lagi. Kita harus duduk bersama," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement