Kamis 24 Apr 2014 20:00 WIB

Berburu Penumpang di Antara Deru Kereta

Rep: c54/ Red: Karta Raharja Ucu
Tukang ojek saat ngetem di pangkalannya (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Tukang ojek saat ngetem di pangkalannya (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senin (21/4) pagi, di pintu Stasiun Commuter Line Pasar Minggu, sejumlah tukang ojek sepeda motor berebut penumpang seperti kawanan laron mengerubungi lampu taman. Puluhan pria bermotor berjejer di pinggir jalan. Ketika sirene perlintasan kereta menyalak dan terdengar deru kereta, mereka terlihat sangat waspada.

Bunyi itu tak lain tanda si sepur telah tiba untuk menaikturunkan penumpang. Begitu orang-orang menghambur keluar stasiun, persaingan dimulai. “Ojek, Pak? Ojek, Bu? Ojek?” sapa mereka menjajakan jasa kepada setiap wajah sembari melambai-lambaikan tangan, isyarat memanggil.

Saking sibuknya mereka berburu penumpang, ROL sempat canggung ketika meminta wawancara. Sampai akhirnya, ROL memberanikan diri mendekati salah satu dari mereka yang terlihat sedikit santai. Pria berpenampilan lusuh yang ROL jumpai itu mengenalkan diri bernama Suryadi (35 tahun). Sejenak, dia menghentikan 'perburuannya' dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ROL.

Ayah tiga anak tersebut mengaku tak tahu persis jumlah tukang ojek di Stasiun Pasar Minggu. Namun, ia memperkirakan sekitar 70 tukang ojek mendulang nafkah di stasiun itu.

Sebelumnya, menurut dia, jumlahnya tidak sebanyak itu. Penambahan angka tukang ojek terjadi pascasterilisasi trotoar depan stasiun dari pedagang kaki lima (PKL). Sebagian PKL kehilangan mata pencahariaannya dan beralih profesi menjadi tukang ojek. Dia sendiri sebelumnya berjualan satai padang.

Suryadi bercerita, kebanyakan penarik ojek di sana adalah orang Jawa dan Madura. Hanya satu-dua warga asli Jakarta atau dari kelompok etnis lain, seperti dia yang keturunan Minang.

Sebagian besar tinggal di kampung-kampung sekitar stasiun. Dia sendiri tinggal di Kampung Jawa, persis di belakang Stasiun Pasar Minggu. Kata dia, para penarik ojek di sana datang dan pergi begitu saja. Ada yang memilih mangkal dari pagi sampai sore. Ada juga yang hanya datang pada jam-jam sibuk.

Menurut Suryadi, puncak keramaian penumpang biasanya terjadi pada jam berangkat dan pulang kantor, yaitu pagi dan sore hari. Saat-saat istimewa bagi penarik ojek stasiun adalah ketika kereta mogok atau jalur terusannya tidak bisa dilewati karena tergenang air. Saat itulah/ mereka laris-manis mengantarkan penumpang dengan jarak yang jauh. Imbalannya tentu tarif yang didapat makin besar.

Untuk jarak paling dekat, kata Suryadi, umumnya mereka meminta Rp 10 ribu, sementara yang terjauh hingga Rp 100 ribu, bahkan terkadang lebih. Harga tersebut biasanya disepakati terlebih dahulu melalui proses negosiasi.

“Tapi, ada juga yang enggak harus nego. Biasanya yang sudah langganan,” kata Suryadi.

Menurut dia, sebagian besar penumpangnya adalah kaum pekerja, entah pegawai swasta maupun PNS. Mereka datang menggunakan kereta dari daerah-daerah permukiman luar Jakarta, utamanya dari Bogor dan Depok. “Mereka memilih ojek biar cepet, Mas. Apalagi, kalau macet dan mereka sudah telat,” tutur dia.

Suryadi bercerita, penghasilan dari menarik ojek tidak tentu. Terkadang bisa besar, sampai Rp 200 ribu, tapi kadang hanya beberapa puluh ribu rupiah. Itu yang membuat istrinya mengeluh dan memintanya kembali berjualan satai padang.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement