Jumat 18 Apr 2014 10:04 WIB

Astaga, Negara Dirugikan Rp 101 T dari Pencurian Ikan

A fisherman spills the day's catch in Tegal, Central Java, recently. Illegal fishing undermined Indonesian economy and cause a huge amount of financial loss.
Foto: Antara/Oky Lukmansyah
A fisherman spills the day's catch in Tegal, Central Java, recently. Illegal fishing undermined Indonesian economy and cause a huge amount of financial loss.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Masih gencarnya pencurian ikan yang dilakukan berbagai kapal ikan asing sangat merugikan Indonesia sehingga perkiraan kerugian negara "illegal, unreported, and unregulated fishing" (IUU Fishing) dapat mencapai Rp 101 triliun per tahun.

"Sebelumnya, estimasi kerugian akibat IUU Fishing per tahun oleh FAO (Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia) kurang lebih Rp30 triliun per tahun," kata Sekretaris Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Ida Kusuma Wardhaningsih di Jakarta, Kamis (16/4).

Data yang diumumkan FAO tahun 2001 menyatakan bahwa negara-negara berkembang berpotensi kehilangan 25 persen dari stok sumber daya ikannya akibat dari IUU Fishing. Indonesia pada saat itu memiliki sumber daya ikan hingga sebesar 6,5 juta ton per tahun sehingga perhitungan angka kerugian yang hilang adalah seperempat dari jumlah itu atau sebesar 1,6 juta ton.

Jika diasumsikan harga jual ikan di pasar internasional rata-rata 2 dolar AS per kilogram, maka kerugian Indonesia pada saat itu diperkirakan mencapai 3,2 miliar dolar AS atau setara Rp30 triliun ketika itu. Namun pada saat ini, Ditjen PSDKP KKP melakukan kajian yang menyatakan bahwa total kerugian negara per tahun dapat dihitung dari hilangnya potensi sumber daya ikan yang ditangkap secara ilegal dikalikan indeks investasi bidang perikanan di Indonesia ditambah dengan kerugian terkait ketenagakerjaan.

Ditjen PSDKP mengemukakan bahwa hasil dari perhitungan tersebut mencapai sekitar Rp101 triliun. Pemerintah dinilai kehilangan nilai ekonomis dari ikan yang dicuri, Pungutan Hasil Perikanan (PHP) yang hilang, subsidi BBM yang dinikmati kapal perikanan yang tidak berhak, Unit Pengolahan Ikan (UPI) kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing produk perikanan, serta mata pencaharian nelayan skala kecil yang kalah bersaing dengan kapal asing.

Selain itu, terdapat pula aspek kerugian lainnya yaitu dari aspek ekologis antara lain kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya, yang disebabkan oleh penggunaan alat penangkap ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan (API/ABPI) yang tidak ramah lingkungan.

"IUU fishing merupakan salah satu penyebab kapasitas UPI yang sudah dibangun hanya termanfaatkan sekitar 30-50," katanya.

Di samping itu, ujar Ida, praktek IUU fishing menyebabkan kesulitan bagi otoritas pengelolaan perikanan untuk mendapatkan data potensi sumber daya perikanan yang akurat, untuk mengatur kuota pemanfaatan sumber daya perikanan.

Ia juga berpendapat bahwa kerugian lain yang tidak kalah penting adalah menimbulkan citra negatif bangsa Indonesia, karena Indonesia dianggap tidak mampu mengelola sumber daya kelautan dan perikanannya dengan baik.

Menurut dia, bila pihaknya telah dapat memiliki data kajian yang riil dan komprehensif, maka tidak tertutup kemungkinan misalnya dilakukan jeda atau moratorium penangkapan ikan sebagaimana telah dilakukan di kehutanan.

KKP mengakui kemampuan untuk mengawasi pencurian ikan atau "Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing"/IUU Fishing" di kawasan perairan Republik Indonesia masih terbatas. "Kemampuan pengawasan di laut sangat terbatas dibanding kebutuhan untuk mengawasi daerah rawan IUU Fishing," katanya.

Menurut dia, keterbatasan kemampuan untuk mengawasi perairan juga terlihat antara lain dengan masih belum adanya kapal KKP yang bisa beroperasi misalnya di selatan laut Jawa. Ia memaparkan, jumlah kapal yang diperiksa karena dicurigai terlibat IUU Fishing dilaporkan menurun seiring dengan berkurangnya jumlah hari operasi kapal pengawas, padahal kinerja operasi kapal pengawas perikanan terkait erat dengan jumlah hari operasi.

Berdasarkan data KKP, ujar dia, sampai dengan tahun 2014 jumlah kapal pengawas perikanan yang dimiliki institusi tersebut adalah sebanyak 27 unit. Ia memaparkan, pada tahun 2012 hari operasional pengawasan adalah sebanyak 180 hari pelayaran, sedangkan pada 2013 hari operasional menurun menjadi 115 hari pelayaran. Sementara jumlah kapal yang diperiksa juga menurun dari 4.326 unit kapal pada 2012 menjadi 3.871 kapal.

Sedangkan bila dilihat secara terperinci pada 2013, jumlah kapal ikan asing yang ditahan (tidak hanya sekadar diperiksa) adalah sebanyak 44 unit kapal, sedangkan jumlah kapal ikan indonesia sebanyak 24 unit.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement