Kamis 10 Apr 2014 16:51 WIB

Jokowi 'Nggak Ngefek' serta Kejutan PKB dan PAN

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha

Jalan politik adalah perjuangan gagasan. Kekuasaan dan kursi hanyalah batu antara.

Kalimat itu tampaknya tepat disematkan ke PDIP. Hasil hitung cepat (quick count) benar-benar mengejutkan. PDIP memang menjadi juara. Namun raihan suaranya hanya sekitar 19-20 persen.

Faktor Jokowi Effect, sesuatu yang diperkirakan menjadi pelejit suara PDIP, ternyata hanya rame di media massa dan di social media seperti di twitter dan facebook. Angka itu hanya beranjak sedikit dari hasil polling sebelum partai banteng moncong putih ini mengajukan nama Jokowi. Sesuai survei saat itu, mereka diperkirakan meraih 16-18 persen. Padahal mereka berharap bisa mencapai 27 persen atau bahkan dihembus-hembuskan bisa sekitar 35 persen.

Angka quick count memang bukan angka yang resmi. Tapi survei ini sangat akurat. Biasanya hasilnya tak jauh dari perhitungan manual yang akan dilakukan KPU.

Pertanyaannya mengapa faktor Jokowi atau biasa disebut Jokowi Effect tak berpengaruh signifikan? Kita masih harus menunggu pengumuman dari lembaga-lembaga penyelenggara quick count pada bagian exit poll. Mereka biasanya menanyakan kepada responden yang baru keluar dari bilik suara tentang alasan pilihannya.

Pemilu 2014 adalah pemilu keempat di masa reformasi. Pemilu pertama (1999) boleh dikata sebagai pemilu euforia. Ini hanya semacam pemilu balas dendam. Pemenangnya PDIP, 33,74 persen suara.

Sedangkan pemilu kedua (2004) adalah pemilu kegamangan. Pemenangnya Golkar (18,53 persen), partai yang di pemilu 1999 dihujat. Namun presidennya adalah SBY dari Partai Demokrat, yang partainya hanya meraih 7,45 persen. Pemilu ketiga (2009) adalah pemilu konsolidasi. Pemilih mulai belajar lebih jernih. Pemenangnya Partai Demokrat, 20,81 persen.

Pemilu keempat tahun ini merupakan tahap pematangan. Euforia di media massa dan media sosial tentang faktor Jokowi hanya berpengaruh sangat sedikit terhadap pilihan publik. Kita bahkan bisa berandai-andai. Jika saja tak ada kasus Maladewa, bisa jadi Golkar menjadi pemenangnya. Pada pemilu 2009, Golkar meraih 14,45 persen, dan pemilu 1999 meraih 22 persen. Sebelum ada kasus Maladewa, sesuai survei elektabilitas Golkar berkisar 18-20 persen.

Mengapa Jokowi Effect disebut nggak ngefek? Mari kita lihat perkembangan perolehan suara PDIP dari 1999 hingga 2009: awalnya 33,74 persen, lalu turun menjadi 18,53, dan terakhir 14,01 persen. Sebelum pengumuman pencalonan Jokowi, sesuai survei, elektabilitas PDIP berkisar 16-18 persen.

Dalam jumpa pers pernyataan terima kasih kepada rakyat atas kemenangan PDIP, Megawati Soekarnoputri tak didampingi Jokowi. Kita boleh berpendapat bahwa saat pengumuman pun Jokowi tak ikut mendampingi. Jokowi juga bukan pengurus DPP PDIP.

Namun kita bisa meyakini jika perolehan PDIP sesuai target Jokowi bisa jadi ada di sisi Megawati. Dalam jumpa pers itu pun Megawati tak begitu sumringah. PDIP gagal meraih dukungan di luar pemilih tradisionalnya.

Para pemilih tetap orang-orang Sukarnois yang itu-itu saja. Padahal dalam kampanyenya, mereka berteriak jika ingin Jokowi menjadi presiden maka pilihlah Jokowi. Semua itu tak mempan.

Pemilih makin matang. Mereka tak bisa diiming-imingi. Mereka realistis. Ini adalah pemilihan anggota parlemen. Tak ada hubungan dengan Jokowi. Harus diakui, pencalonan Jokowi menimbulkan simpati, harapan, dan dukungan. Namun pada akhirnya, pertama, mereka akan melihat rekam jejak partai, figur calon anggota legislatif, ideologi partai, dan konfigurasi calon-calon yang ada di daftar caleg. Hal itulah yang membuat orang mundur lagi untuk memilih PDIP.

Kedua, Jokowi bukanlah SBY. Pada pemilu 2009, ketika Demokrat menang pemilu legislatif, orang memilih partai ini karena faktor SBY. Ini karena dia figur sentral di partai dan dia yang akan dicalonkan menjadi presiden. Dalam konteks inilah isu Jokowi sebagai capres boneka menjadi mengena. Apalagi Megawati adalah figur simbolik dan kharismatik di tubuh PDIP. Karena itu ada suara Jokowi Yes, PDIP No.

Ketiga, black campaign terhadap Jokowi sedikit banyak ikut berpengaruh. Kasus bus Transjakarta merupakan bukti kelemahan kontrol, manajemen, dan kepemimpinan Jokowi. Tak adanya perkembangan signifikan dalam pembangunan monorel juga menjadi catatan publik.

Publik tidak bisa ditenangkan bahwa itu kerjaan anak buahnya. Apalagi ini adalah proyek besar, vital, dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Kampanye negatif lain adalah soal Jokowi pembohong karena di masa kampanye pilkada DKI Jakarta ia berjanji tak akan ikut capres.

Keempat, PDIP sangat minim manuver. Mereka hanya memainkan dua kartu. Pertama, menjaga pemilih tradisional. Hal ini tecermin pada konfigurasi caleg yang tak cukup inklusif. Kedua, hanya menjadikan Jokowi sebagai magnitude kampanye. Pada titik ini kita merasakan betapa pentingnya kehadiran almarhum Taufiq Kiemas. Beliau adalah figur yang komunikatif dan bisa melebarkan arena permainan.

*****

Secara umum, perolehan suara partai-partai Islam meningkat dibanding pada pemilu 2009. Berdasarkan angka hitung cepat Indikator, secara total mereka meraih 29,57 persen suara. Sedangkan pada pemilu sebelumnya 23,20 persen. Hanya PKS yang menurun. Tapi tak seperti prediksi lembaga survei, penurunan perolehan suara PKS relatif kecil. Pada pemilu lalu PKS meraih 7,89 persen, sedangkan dua pemilu sebelumnya 1,36 persen (1999) dan 7,20 persen (2004). Hasil hitung cepat Indikator, pemilu kali ini meraih 6,91 persen.

Kejutan besar hasil quick count adalah melejitnya perolehan suara PKB dan naiknya perolehan suara PAN. PKB naik dua kali lipat dibandingkan dengan perolehan suara 2009 yang 4,95 persen. Hasil hitung cepat kali ini menunjukkan perolehan suara 8,98 persen. Namun angka ini tetap lebih kecil pada dua pemilu sebelumnya yang 12,6 persen dan 10,61 persen. Sedangkan PAN berhasil melampui perolehan suara pada pemilu 1999. Angka PAN berturut-turut adalah 7,12 persen, 6,41 persen, 6,03 persen, dan 7,34 persen (hitung cepat).

PKB berhasil mengonsolidasi struktur partai, merekatkan kembali hubungan dengan PB NU, dan berhasil memainkan sejumlah kartu penting untuk calon presiden. Dalam hal terakhir ini terutama kartu Mahfud MD dan Rhoma Irama.

Sedangkan kenaikan PAN lebih karena keberhasilan Hatta Rajasa. Sebagai insinyur ia berhasil melakukan pendekatan saintifik dalam kontestasi. Dia fokus pada pendekatan per daerah pemilihan dengan dukungan angka-angka survei. Prestasinya ini melampui prestasi yang dicapai M Amien Rais, pendiri PAN.

Yang patut dicatat adalah keberhasilan pendatang baru, Nasdem. Sesuai hitung cepat Indikator, partai ini meraih 6,73 persen. Bagi Surya Paloh, pendiri Nasdem, ini merupakan kemenangan penting dalam perseteruannya dengan Hary Tanoe yang menyeberang ke Hanura. Tentu saja yang paling tak boleh dilupakan adalah melejitnya Gerindra. Pada pemilu 2009 hanya meraih 4,46 persen suara. Kali ini diprediksi meraih 11,72 persen. Naik hampir tiga kali lipat. Sedangkan Demokrat terjun bebas: dari 20,81 persen ke 9,47 persen.

*****

Pertanyaan berikutnya adalah apa dampak hasil pemilu legislatif ini terhadap kontestasi pemilihan presiden? Gagalnya target PDIP dan tak ngefeknya faktor Jokowi memberi rasa percaya diri pihak-pihak lain. Pada sisi lain, karena tak ada partai yang mencapai angka presidential threshold membuat konfigurasi koalisi menjadi hal yang sangat menarik. Dinamika menjelang kontestasi menjadi sesuatu yang krusial. Semua saling membutuhkan. Siapa yang kopeg bisa terisolasi dan bisa keluar dari orbit permainan.

Namun hal yang paling penting dari semua ini adalah, politik bukan sekadar merebut kekuasaan dan meraih kursi. Tapi gagasan apa yang Anda bawa. Kegagalan PDIP adalah pada titik ini. Mereka sibuk bagaimana meraih kursi untuk kelompoknya masing-masing. Mereka lupa bahwa pada akhirnya apa yang akan mereka bawa ke politik.

Publik membaca hal itu. Setiap caleg yang terpilih akan membawa gagasannya masing-masing. Mengabaikan konfigurasi sosial dalam konfigurasi politik membuat mereka hanya meraih dukungan yang sempit. Hasil pemilu legislatif ini merupakan sinyal kuat untuk PDIP, bahkan untuk semua capres, untuk memperhatikan suara publik secara umum. Perjuangan politik adalah perjuangan gagasan. Ini PR besar bagi Jokowi dan PDIP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement