REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelenggaraan reformasi agraria tidak hanya ditujukan untuk kegiatan pertanian semata, melainkan untuk kegiatan pembangunan yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat.
Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Budi Mulyanto menjelaskan institusinya bertugas membuat konsep dan menyelenggarakan reformasi agraria yang diamanatkan oleh pemerintah. Salah satu upaya yang dilakukan BPN adalah inisiasi untuk melakukan penertiban tanah terlantar.
Berdasarkan kalkulasi kasar BPN, Budi menyebut potensi tanah terindikasi terlantar di Indonesia mencapai 7,5 juta hektare. Tanah-tanah tersebut tersebar tidak hanya di luar kawasan hutan, melainkan juga di kawasan hutan yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan.
Sebagai gambaran, jumlah tanah di seluruh Indonesia mencapai sekitar 190 juta hektare. Sebanyak 2/3 bagian diantaranya 'dikuasai' oleh Kementerian Kehutanan atau kerap disebut kawasan hutan. Sedangkan sisanya sebanyak 1/3 bagian dikelola dalam bentuk hak guna usaha (HGU) hingga hak guna bangunan (HGB).
"Potensi lahan terlantar itu sebagian besar di luar kawasan hutan. Sedangkan sebagian kecilnya di kawasan hutan," ujar Budi dalam talkshow bertajuk 'Reformasi Agraria dan Alih Fungsi Lahan' dalam rangkaian acara Agrinex Expo kedelapan di Jakarta Convention Centre, Sabtu (29/3).
Budi menjelaskan proses penertiban tanah terindikasi terlantar yang dilakukan oleh BPN. Misalnya dari seribu hektare tanah, setelah dilakukan verifikasi diperoleh 300 hektare tanah yang terindikasi terlantar. BPN, kata Budi, memberikan peringatan pertama, kedua dan ketiga, sebelum tanah itu dinyatakan terlantar.
Namun, upaya ini tidak berjalan mudah. Menurut Budi, upaya ini terkendala sejumlah faktor antara lain anggaran yang terbatas dan perlawanan hukum oleh pemilik tanah yang telah dinyatakan terlantar.
Akibatnya, upaya penertiban belum memberikan hasil yang menggembirakan. "Itu semua menjadi masalah. Sampai saat ini baru sekitar 300 hektare saja yang bisa ditertibkan," kata Budi.