REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Saling menekan soal struktur harga jual liquefied natural gas (LNG) antara produsen dan konsumen makin panas. Negara-negara produsen LNG mengaku memiliki alasan kuat mengapa keberatan jika harga LNG dijual lebih murah atau diturunkan.
Direktur Utama PT Badak NGL Nanang Untung mengatakan persoalan investasi tinggi menjadi salah satu alasan kuat di balik keengganan produsen menurunkan harga. Perusahaan-perusahaan migas nasional dan multinasional telah menanamkan banyak uang untuk eksplorasi dan produksi, dengan berbagai risiko yang dihadapi.
"Belum lagi masalah lapangan gas yang berada di daerah terpencil dan sulit dijangkau, tentu ini menambah biaya mahal," kata Nanang di Seoul, Korea Selatan, Rabu (26/3).
Untuk kasus seperti Indonesia, dia menyebut persoalan serius terkait pembebasan lahan yang tidak mudah. Perlu waktu lama untuk bisa mengatasi masalah ini, yang lagi-lagi perusahaan harus mengeluarkan biaya mahal untuk itu. Jika tidak diselesaikan, lapangan gas yang ada tida akan bisa dieksplorasi dan diproduksi.
Negara-negara konsumen LNG mendesak adanya kontrak Hara yang fleksibel dan lebih murah. Selama lima tahun terakhir ini, para konsumen mengatakan harga LNG telah naik hingga 170 persen. Mereka tidak bisa menolak kontrak karena kebutuhan tinggi untuk menggerakkan mesin-mesin ekonomi mereka.
Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan merupakan konsumen terbesar LNG di Asia. Jepang paling mengalami masa sulit setelah pembangkit nuklir negeri itu ditutup. Dengan begitu, mereka terpaksa menggerakkan ekonominya dengan pasokan LNG.
Elba Damhuri dari Seoul, Korea Selatan