REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro merasa miris dengan kebijakan kontradiktif yang ditunjukkan parpol. Setelah berupaya untuk memenuhi kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen, nyatanya mereka malah asal rekrut.
Menurut dia, amanah melaksanakan kebijakan kuota 30 persen tidak boleh disimpangkan oleh pengurus partai dengan memudahkan rekrutmen caleg tanpa memperhatikan kriteria dan parameter terkait kualitas calon.
“Kalaupun toh hiburan dihadirkan dalam acara kampanye, bukan berarti voter (sekaligus) dijadikan caleg. Mengabaikan kualitas caleg akan menghadirkan anggota dewan yang tidak kompeten dan tidak memiliki kapasitas,” kata Siti ketika dihubungi, Selasa (25/3).
Yang membuat Siti heran, parpol di satu sisi juga melecehkan kaum perempuan. Hal itu terbukti ketika dalam kampanye malah mengundang biduan untuk bergoyang erotis di panggung demi mengundang massa untuk hadir di kampanye. Dampaknya, mereka seolah hanya dijadikan penarik suara (vote getter) untuk mendongkrak popularitas parpol.
“Kampanye yang dilakukan partai-partai semestinya sarat dengan penyampaian visi, misi, program partai melalui caleg,” ujar Siti. “Kampanye yang mencerahkan, mengedukasi dan menjadikan masyarakat paham sangat diperlukan ketimbang sekadar hanya acara joget-joget berdendang saja.”
Siti mengkritik setiap parpol yang dalam kampanye hanya mengandalkan penyanyi dangdut untuk menarik kehadiran massa. Idealnya, saran dia, parpol lebih fokus untuk jualan program partai demi kesejahteraan masyarakat.
Kalau hanya sekadar mengadakan acara dangdutan di atas panggung, hal itu sebagai bentuk pembodohan publik. “Lalu, apa bedanya acara hiburan dangdut dengan kampanye partai? Tentunya kedua hal tersebut harus dibedakan,” gugat Siti.
Dia berharap, kuota perempuan yang sudah dipenuhi parpol dapat diikuti dengan kualitas caleg. Syarat tes secara berlapis-lapis yang diterapkan demi mendapat calon terbaik harus dipikirkan. Dengan begitu, ketika mereka terpilih dapat menyerap aspirasi dan memberdayakan kaumnya.
Yang perlu dipahami oleh masyarakat, lanjut dia, bahwa kuota perempuan 30 persen dimaksudkan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan agar aspirasi perempuan bisa diakomodasi, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun program-program riil.”
“Kuota tidak lain tak bukan dimaksudkan untuk memberdayakan perempuan. Bukan sebaliknya malah melecehkan.”