REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam Keppres yang ia tandatangani 14 Maret 2014 tersebut memuat agar penggunan kata Cina kepada warga keturunanan mandarin menjadi Tionghoa atau Tiongkok.
Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir mengatakan Keppres ini menjadi bagian dari pengembalian sejarah etnis Cina di Indonesia. Menurut dia, penyebutan kata Cina menjadi Tionghoa seperti menegakan tonggak sejarah yang seharusnya.
“Historis hukumnya memang seharusnya penyebutan etnis Cina dalam setiap dokumen Negara itu ditulis Tionghoa atau Tiongkok,” ujar professor hukum asal Universitas Islam Indonesia (UII) ini dihubungi dari Jakarta umat (21/3).
Dia menjelaskan, dari sisi pidana, bila masih ditemukan penyebutan Cina tak diganti dengan Tionghoa atau Tiongkok sebenarnya tidak ada masalah. Seseorang tidak akan lantas disebut kriminal bila menyebut Cina pada orang-orang keturunan mandarin.
Namun menurutnya, Keppres ini dapat disambut hangat karena sudah menjadi wujud perlindungan minoritas. Dengan menghilangkan bunyi Cina maka hal itu dapat menetralisir penilaiannya yang kerap disebut diskriminasi selama ini.
“Tionghoa masuk ke dalam golongan asing timur, tapi para keturunannya tetap warga Indonesia, jadi dalam administrasi saja perlu ditulis Tionghoa bukan lagi Cina. Kalau dalam bahasa sehari-hari ya tidak lantas disebut melanggar pidana,” kata dia.