Sabtu 22 Mar 2014 00:53 WIB

Keppres Perubahan Istilah Cina Tidak Memuat Kekuatan Hukum Pidana

Rep: Gilang Akbar Prambadi/ Red: Bilal Ramadhan
 Warga keturunan Tionghoa mengikuti pawai Cap Go Meh di jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Jumat (14/2).  (Republika/Yasin Habibi)
Warga keturunan Tionghoa mengikuti pawai Cap Go Meh di jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Jumat (14/2). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Dalam Keppres yang ia tandatangani 14 Maret 2014 tersebut memuat agar penggunan kata Cina kepada warga keturunanan mandarin menjadi Tionghoa atau Tiongkok.

Lantas, apakah bila dalam prakteknya masyarakat masih menggunakan kata Cina dalam kegiatan sehari-hari dengan warga keturunan tionghoa akan dikenai sanksi, jawabannya tidak. Demikian disampaikan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimim Abdi.

Mualimin mengatakan, sanski atau ancaman hukum dari Keppres tidak menjangkau pidana. Lain halnya bila putusan itu dituangkan dalam Undang-undang (UU) atau peraturan daerah (Perda).

 

“Ancaman pidana tidak sampai ya, tapi ada lah sanski sosialnya. Karena kan sudah diputuskan kalau berbicara jangan menggunakan kata Cina, sebagai masyarakat taat hukum ya ikuti saja,” ujar Mualimim ketika dihubungi Republika Jumat (21/3).

 

Mualimin mengatakan, kecuali dalam satu hal pengunaan kata Cina tidak dibenarkan dan dapat diseret ke ranah hukum. Hal tersebut ialah ketika dalam sebuah dialog seseorang sengaja memanggil Cina dengan maksud mengejek dan upaya memprovokasi.

 

Itu pun menurutnya, belum tentu individu pelakunya dapat dihukum atas perbuatannya ini. Seperti pada konteks pidana umumnya, pelaku baru patut diduga melakukan pelanggaran bila dalam penyelidikannya ditemukan faktor kesengajaan melanggar.

 

“Kalau diduga sengaja memanggil ‘Hey cina, cina, dasar kamu cina’ nah yang seperti ini baru bisa kena pasal pencemaran nama baik, bisa pidana,” ujar dia.

 

Mualimin menambahkan, meski tak menyentuh ranah interaksi bahasa dalam pergaulan sehari-hari, Keppres pergantian Cina ke Tionghoa ini akan menjadi sebuah putusan yang wajib diterapkan di dokumen-dokumen tertulis. Dia mengatakan, dengan Keppres ini, seluruh dokumen tentang kebijakan kepada masyarakat, kata Cina selama ini yang berkaitan dengan pemanggilan suatu etnis harus diubah menjadi Tionghoa.

 

“Jadi tidak masalah ketika dalam pergaulan sehari-hari masih menggunakan Cina. Tapi untuk sebuah dokumen apalagi yang dikeluarkan oleh pemerintah, mulai saat ini harus menggunakan Tionghoa,” paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement