REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pergantian istilah Cina menjadi Tionghoa melalui keputusan presiden dinilai tidak akan mempengaruhi peta politik pemilu 2014. Suara masyarakat dari etnis tersebut dianggap sulit terpusat pada satu partai.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi mengatakan, suara masyarakat tionghoa masih cenderung pecah. Pergantian nama tersebut memang diapresiasi karena menghapus rasa diskriminasi. Namun tidak berdampak pada politik.
"Dalam segi permodalan pun, kami tidak akan terpusat pada satu partai. Mereka ini sulit diarahkan. Karena yang disokong hanya sejumlah pihak tertentu yang mereka dukung," kata Sofjan, Jumat (21/3).
Dia menilai, maksud dari perubahan istilah itu bukan untuk merangkul orang Tionghoa secara politik. Melainkan hanya sebatas pengakuan kalau etnis itu bagian dari suku di Indonesia.
Ia juga menilai, kekuatan modal para pengusaha Tionghoa tak akan menyokong pemilu. Karena mereka tetap fokus pada investasi usahanya ke depan, bukan melihat pemilu sekarang.
"Sepertinya tidak ada peningkatan permodalan dari masyarakat Tionghoa untuk kepentingan pemilu. Kalau pun ada, mereka hanya mendorong untuk sejumlah pihak tertentu," ujar dia.
Menurut dia, para pengusaha mulai merasa takut dengan keberadaan KPK dan PPATK dalam memeriksa keuangan. Kala upun ada bantuan yang masuk, akan sesuai prosedur dan jumlahnya sesuai ketentuan yang ada. "Tidak ada lagi pemberian modal gelap pada partai dari kalangan pengusaha Tionghoa," kata dia.