REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggaran reses bagi anggota DPR, DPRD, dan DPD dinilai berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan kampanye caleg petahana pada pemilu 2014. Karena selama ini akuntabilitas dan pertanggungjawaban dana reses dianggap masih lemah.
"Sejauh pengamatan kami, dari segi akuntabilitas pertangungjawaban reses belum ada. Dana reses dari segi akuntabilitas sangat lemah, sehingga penyimpangan mudah terjadi," kata Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, di gedung Bawaslu, Kamis (20/3).
Menurutnya, potensi penyalahgunaan semakin tinggi karena anggaran reses DPR meningkat tajam dua tahun jelang pemilu. Total anggaran reses 2014 mencapai Rp 994.92 miliar. Naik 47 persen dibanding 2013 dan naik empat kali lipat (332 persen) dibandingkan anggaran 2010.
"Jatah dana reses setiap anggota DPR dalam tahun 2014 itu Rp 1,77 miliar untuk 11 kali kunjungan ke dapil. Jadi untuk satu kali kunjungan saja dananya sebesar Rp 160,91 juta per anggota DPR," jelas Roy.
Sementara dana reses untuk anggota DPRD provinsi, kabupaten kota, dan DPD meski tidak sebesar DPR jumlahnya juga terhitung besar.
Besaran anggaran negara yang dikucurkan untuk dana reses tersebut, lanjut Roy, tidak selaras dengan pertangungjawaban anggota DPR. Dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) disebutkan pertanggungjawaban dana reses hanya bersifat moral dan politis.
Padahal, laporan pertanggungjawaban pelru diketahui secara detail. Agar anggapan kegiatan reses hanya seremonial belaka bisa dijawab anggota dewan. Selain itu, konstituen setiap anggota DPR juga membutuhkan laporan dan penjelasan sejauh mana aspirasi mereka diteruskan anggota dewan menjadi produk dan kebijakan DPR.
Kerawanan penggunaan dana reses tersebut pada kampanye pemilu dianggap tinggi. Mengingat 90 persen anggoota DPR periode 2009-2014 kembali maju pada pileg 2014. Apalagi, masa reses bertepatan dengan masa kampanye terbuka.
Caleg petahana bisa menggunakan beragam modus penyelewengan dana reses. Seperti menjadikan ajang pertemuan dengan konstituen sebagai ajang kampanye ditambah dengan pemberian uang atau materi lainnya.
"Atau bikin acara di suatu tempat, kasih uang transport. Tapi tidak membahas program DPR yang menyangkut dengan kebutuhan warga, melainkan tentang pencalonannya," ujar Roy.