REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerhati sejarah militer, Erwin Jose Rizal menilai keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengganti istilah Cina menjadi Tionghoa bermotif politik. Pasalnya keputusan diambil SBY menjelang Pemilu 2014.
"Keputusan SBY ini sangat politis karena menjelang pemilu. Bisa jadi dia berharap dukungan dari masyarakat Tionghoa," kata Erwin kepada Republika di Jakarta, Rabu (19/3).
Erwin mengatakan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa sudah lama dinanti-nanti warga Tionghoa Indonesia. Hal ini karena istilah Cina memiliki makna politis yang cenderung mendiskreditkan warga Tionghoa. "Istilah Cina sering digunakan sebagai bahan ejekan di masyarakat," ujarnya.
Makna politis istilah Cina sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah Revolusi Cina yang digelorakan Mao Tse Tung. Ketika itu, dekade 1949 Mao yang menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Cina berhasil menjatuhkan pemerintahan nasionalis TiongKok yang didirikan Sun Yat Sen.
Sejak itu Cina berubah menjadi negara berpaham internasionalis komunis. Namun hal ini tidak memberi pengaruh besar terhadap sikap politik Indonesia era Sukarno. Sukarno tetap menggunakan istilah Tiongkok daripada Cina.
"Sukarno lebih banyak menggunakan istilah Tiongkok karena dia lebih dekat dengan pemikiran Sun Yat Sen yaitu San Min Chui yang menekankan pentingnya nasionalisme," kata Erwin.
Pasca peritiwa G30S 1965 istilah Tiongkok atau Tionghoa dirubah menjadi Cina oleh Presiden Soeharto. Menurut Erwin hal ini sengaja dilakukan Soeharto untuk mengidentikan orang-orang Tionghoa di Indonesia dengan orang-orang komunis Cina era Mao.
"Perubahan nama Cina digunakan oleh Soeharto untuk memojokan orang-orang Tiong Hoa yang dianggap masih menganut paham internasionalisme komunis," ujarnya.
Masyarakat Tionghoa sendiri menurut Erwin lebih senang menggunakan istilah Tionghoa daripada Cina. Sebab istilah Tionghoa dianggap lebih memiliki makna kebudayaan daripada makna politis. Namun Erwin mengingatkan agar masyarakat Tionghoa tidak terlalu banyak meminta-minta kepada presiden.
Karena pada masa kolonial Hindia Belanda mereka sudah banyak menikmati privasi sebagai warga kelas dua dibandingkan warga Indonesia yang masuk dalam golongan warga kelas tiga. "Kita sebagai bangsa posisinya sama. Mereka harus sadar," katanya.