REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Iqbal
MUI masih menunggu konsep pemerintah.
BADUNG - Pemerintah Indonesia sedang menyusun standar dan pedoman pengembangan kawasan industri halal.
Menurut Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Imam Haryono, sejumlah pihak akan dilibatkan dalam penyusunan.
Di antaranya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Komite Timur Tengah dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Kelak penerapannya pada kawasan industri yang sudah beroperasi.
Setelah standar tersusun, pemerintah melakukan benckmark ke Malaysia. “Kami akan melihat pengelolaan kawasan industri halal di sana,” kata Imam dalam workshop pendalaman kebijakan industri untuk wartawan di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, akhir pekan lalu.
Industri halal internasional memiliki potensi besar. Ini seiring dengan semakin banyaknya jumlah Muslim dunia, mencapai 1,8 miliar orang. Ia yakin potensinya semakin besar, mengingat produk halal mulai dapat diterima pasar non-Muslim.
Terlebih, produk halal tidak hanya dilekatkan dengan isu keagamaan. Namun sebaliknya, ada pemahaman produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal terjamin kebersihan, kesehatan, dan kualitasnya. “Jadi, tak hanya membidik Muslim, tetapi juga non-Muslim.”
Ia menambahkan, kalau mengacu pada kawasan halal di Malaysia, terdapat enam klasifikasi utama, di antaranya pusat halal, kawasan manufaktur halal, kawasan distribusi halal, kawasan pangan halal, dan zona halal eksklusif.
Sebagai gambaran, terdapat 20 kawasan industri halal di seluruh Malaysia. Selain itu, tiap-tiap negara bagian memiliki kawasan industri halal tersendiri. Seperti kawasan industri pada umumnya, kata Imam, pengembangan kawasan industri halal membutuhkan insentif.
Insentif dapat diberikan kepada pengelola kawasan, penyedia jasa logistik, hingga pelaku usaha di dalamnya. Yang paling cepat mungkin insentif pajak. Di Malaysia, insentif yang diberikan berupa pengecualian pajak penghasilan untuk periode tertentu.
Ketua MUI Amidhan mengatakan belum mengetahui secara jelas mengenai langkah Kemenperin menyusun standar kawasan industri halal. “Kami menunggu bagaimana konsep mereka,” ujarnya, Ahad (16/3).
Menurut Amidhan, dalam penerapan standar halal MUI tak hanya mengandalkan saintis, tetapi juga para ulama. Merekalah yang memutuskan dalam kajian hukum Islam mengenai status kehalalan sesuatu atau produk.
Karena itu, sebaiknya dalam penyusunan standar nanti tak hanya melibatkan auditor LPPOM MUI, tetapi juga ulama. Dengan demikian, sisi sains dan ilmu agama menjadi satu kesatuan dalam penyusunan standar tersebut. “Keduanya harus menyatu,” katanya.
Ia mencontohkan, sebuah produk yang dinyatakan sehat oleh badan pangan dan obat-obatan saat disertifikasi halal diaudit lagi oleh auditor LPPOM MUI. Hasil audit mereka kemudian dibahas oleh para ulama untuk memutuskan status kehalalannya.
Amidhan menuturkan, sampai saat ini MUI telah memiliki tiga buku standar kehalalan yang diakui dunia, yaitu Badan Pangan Halal Dunia. Ketiga buku itu mengenai penyembelihan binatang, produk olahan, dan flavor (rasa).
Di sisi lain, Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kemenperin Euis Saedah mendukung kejelasan status kehalalan produk melalui sertifikat halal. Meski demikian, pemerintah tetap meminta agar sertifikasi halal bersifat sukarela.
“Halal ini tak perlu dianggap sebagai sesuatu yang fanatik atau ekstrem,” ujar Euis. Sertifikat halal merupakan informasi bagi konsumen yang menyatakan sebuah produk halal dan sesuai kriteria yang ditetapkan.
Ia juga menegaskan, sertifikat halal bahkan dapat menjadi nilai tambah suatu produk, khususnya produk pangan. Dengan demikian, sertifikasi halal bukan penghalang.