REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk mencukupi stok daging sapi, Muhammadiyah meminta pemerintah mengimpor sapi betina. Setelah itu, sapi diserahkan kepada petani untuk diternakkan. Agar memudahkan, petani juga diberi subsidi.
Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah Syafruddin Anhar menilai langkah pemerintah mengimpor sapi potong dan daging beku saat ini tidak efektif. Penyebab gagalnya swasembada daging juga disebabkan kurangnya pemberdayaan terhadap peternak.
"Selama ini peternak dimainin. Ketika daging sedang ramai, harga dijatuhkan. Ketika sedang lesu, sapi mereka tidak dibeli," ujarnya, Selasa (11/3).
Untuk mempercepat swasembada daging, Syafruddin memiliki solusinya. Dia menyarankan perguruan tinggi mewajibkan mahasiswanya membeli sapi.
Caranya, mahasiswa dibagi kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Tiap kelompok wajib membeli seekor bakalan sapi. Dananya berasal dari urunan mahasiswa.
Sapi tersebut lantas dipelihara di karantina hewan. Karantina hewan milik pemerintah daerah dapat dimanfaatkan karena saat tidak ada sapi impor, kandang dalam keadaan kosong.
Peternak sapi diminta memelihara sapi-sapi tersebut. Rasio bagi hasil keuntungan sebesar 60:40. Sebanyak 60 persen untuk mahasiswa.
"Tiap program studi ada mata kuliah kewirausahaan, dan tiap mahasiswa wajib ambil kuliah itu. Program itu bisa dimulai melalui kuliah kewirausahaan," katanya.
Uang mahasiswa juga tidak hilang. Setelah lulus, modal atau keuntungan dapat dikembalikan. Untuk menumbuhkan rasa memiliki, mahasiswa diajak memantau perkembangan dan merawat sapi mereka.
Gagasan tersebut baru bergulir di antara penggiat peternak sapi di kalangan Universitas Gadjah Mada dan di Malang. Namun, Syafruddin menyebut program percontohan telah berjalan sejak 2008 di Siak, Pekanbaru, Riau.
Justru yang menjalankan program itu adalah para siswa sekolah menengah pertama. Siswa menabung Rp 1.000 perhari. Satu kelas memiliki dua ekor sapi. Selain memberdayakan ekonomi peternak, sekolah juga berkembang.