Selasa 11 Mar 2014 19:37 WIB

Hutan dan Masyarakat Adat Dunia Semakin Terancam

Deforestasi Hutan di Papua
Foto: ANTARA FOTO
Deforestasi Hutan di Papua

REPUBLIKA.CO.ID, PALANGKARAYA -- Masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan hujan tropis di sejumlah negara di dunia mengaku semakin terancam oleh para pemegang modal dan kekuasaan di negara masing-masing.

"Masyarakat adat mendapat tekanan besar saat ini. Sudah ada upaya di tingkat internasional dalam satu dekade terakhir untuk melindungi hutan dan masyarakat adat, tapi ancaman selalu ada," kata Penasehat Kebijakan Forest Peoples Programme (FPP), Francesco Martone disela-sela workshop internasional Deforestation Drivers and The Rights of Forest Peoples di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa.

Menurut dia berdasarkan cerita langsung dari perwakilan masyarakat adat dan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan adanya pembangunan infrastruktur, masuknya pertambangan, perkebunan skala besar, korupsi, dan tekanan dari pihak militer dan kepolisian masih terjadi.

"Dan banyak dari hak adat yang masih tidak diakui," ujar dia.

Ia mengatakan pihaknya menyadari bahwa sebenarnya kearifan lokal masyarakat adat mau pun masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan justru menjadi solusi laju deforestasi.

Menurut Francesco ada keterkaitan antara hak masyarakat adat akan hutan. Jika hak mereka diakui maka akan ada solusi untuk mengatasi deforestasi, karena bukti menunjukkan hutan yang masih bertahan ada di wilayah masyarakat adat dan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.

Anggota perwakilan masyarakat adat dari Republik Demokrasi Kongo Marie Dorothe Lisenga Bafalikkie pada kesempatan sama mengatakan bahwa mereka tetap mendapatkan diskriminasi besar terhadap hak atas tanah mereka meski para dewan di parlemen mulai memperhitungkan keberadaan mereka.

Karenanya ia mengatakan masyarakat adat dan masyarakat yang menggantungkan hidup di dalam dan sekitar hutan di negaranya masih harus berjuang untuk mendapatkan hak mereka.

Saat ini di Kongo, menurut dia, perusahaan-perusahaan tambang dan perkebunan besar dari China, Italia, dan Lebanon banyak beroperasi. Mereka seharusnya melewati kajian analisis dampak lingkungan (Amdal), namun hal itu tidak berjalan.

Lebih lanjut, ia mengatakan perusahaan-perusahaan terus menerus mengajak masyarakat menandatangani kesepakatan dengan berbagai macam janji.

"Tapi mereka memangkas hutan kami, dan tidak menyisakan sebatang pohon pun untuk kami sehingga tidak ada lagi aliran air bersih, listrik, dan tidak ada lagi sekolah untuk anak-anak kami," ujar dia.

Perwakilan masyarakat adat dari Kapuas, Noerhadi mengatakan kontradiksi antara inisiatif pemerintah yang mengeksploitasi hutan dan mengambil tanah dari masyarakat, serta inisiatif konservasi seperti skema REDD+ perlu diatasi.

Menurut dia, inisiatif-inisiatif mengelola tanah dan hutan tersebut pada kenyataannya selalu tidak mengikutsertakan masyarakat lokal.

Workshop yang dilaksanakan oleh FPP dengan Pusaka yang berlangsung sejak 9 hingga 14 Maret di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, melibatkan perwakilan masyarakat adat dan masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan di Indonesia, Peru, Paraguay, Republik Demokrasi Kongo, Kolombia, Guyana, Kamerun, Liberia.

Selain itu melibatkan pula perwakilan Pemerintah Indonesia, Pemerintah Inggris, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional dan internasional, dan badan internasional seperti CIFOR dan UNDP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement