Senin 10 Mar 2014 18:39 WIB

Harga Karet Merosot, Petani Menjerit

Rep: Budi Raharjo/ Red: Yudha Manggala P Putra
Penyadap karet
Penyadap karet

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petani karet di Bangka Belitung menjerit karena harga komoditas ini merosot. Harga karet alam kini sekitar Rp 6.500 per kilogram, lebih rendah dibandingkan harga akhir tahun 2013 sebesar Rp 8.000 per kilogram.

Padahal, hammpir 70 persen karet alam dunia dihasilkan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Anggota Komisi IV DPR Anton Sukartono Suratto mengatakan, petani sebaiknya harus siap menghadapi harga yang berfluktuasi. "Ini bisa terjadi dalam waktu yang lama," ujar dia dalam keterangan tertulisnya.

Turunnya harga karet sekarang ini baru sebatas akibat tidak langsung. Sementara, ujar Anton, akibat langsungnya adalah ketika nanti krisis Eropa semakin merambah ke negara-negara lain. Solusi terbaik yang harus dilakukan adalah dengan mengatur pasokan dan permintaan melalui kementerian perdagangan.

Untuk mengatasi fluktuasi harga komoditas, kata Anton, pemerintah harus mampu mendorong pengembangan industri hilir dan industri hulu domestik. Karena, pengembangan hilir domestik dapat mengurangi ketergantungan sektor perkebunan terhadap situasi pasar komoditas primer internasional.

Anton juga mengatakan saat ini Indonesia baru memanfaatkan tidak lebih 13 persen produksi karet alam nasional untuk industri hilir. Mengingat 85 persen dari luas perkebunan karet di Tanah Air merupakan perkebunan rakyat, maka hasil kebun petani mampu menghasilkan produk karet alam sebanyak 2,210 juta ton.

Sementara, perusahaan perkebunan (BUMN) menghasilkan 252 ribu ton, dan perkebunan besar swasta diperkirakan mampu memproduksi 274 ribu ton karet alam pada 2010 dan menjadi 276 ribu ton pada 2011. "Masalahnya, tinggal bagaimana pemerintah memberikan berbagai skema insentif kepada para investor untuk mengembangkan industri karet ini dengan menyediakan teknologi," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement