REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai dalam prakteknya DPR lebih mementingkan politik tertentu dibanding tujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itulah kepercayaan publik terhadap DPR dalam menjalankan fungsi anggaran (budgeting) dinilai semakin berkurang karena dalam prakteknya lembaga tersebut lebih mementingkan politik, kata Sekjen FITRA Yenni Sucipto di Jakarta, Senin.
"DPR sudah terbukti tidak lagi menggunakan fungsi budgetingnya demi kesejahtaraan rakyat. DPR abai, yang mengakibatkan semakin besarnya ketimpangan dalam alokasi di APBN," kata Yenni Sucipto dalam diskusi bertajuk "Kritik Terhadap DPR Dalam Kebijakan APBN", di Jakarta, Senin.
Menurut Yenni, setidaknya terdapat sejumlah poin yang menjadi catatan FITRA terhadap DPR terkait dengan pelaksanaan fungsi budgeting yang tidak maksimal tersebut.
"Ketidakberpihakan DPR terhadap rakyat tercermin dari produk kebijakan APBN yang tidak bersentuhan dengan rakyat kecuali sebatas orientasi pada pertumbuhan ekonomi, yang dibuktikan dengan tetap mempertahankan stabilitas pada belanja pegawai dan barang," ujarnya.
Ia menjelaskan, akibatnya anggaran kesehatan hanya berkisar 2 persen dari total APBN dalam lima tahun terakhir, padahal sekor kesehatan menyerap sekurang-kurangnya sekitar 55 persen dari total tenaga kerja.
Selanjutnya anggaran infrastruktur hanya 10 persen, sementara cicilan utang dan bunga utang mencapai 20 persen.
"Setiap tahun selalu saja ada penarikan pinjaman program dan proyek atau utang baru, namun tidak ada upaya DPR untuk menahan atau menolak pinjaman utang baru yang dilakukan pemerintah," ujarnya.
Ketidakberpihakan DPR terhadap rakyat juga tercermin dari persetujuan DPR terhadap kebijakan pemerintah dalam menurunkan subsidi energi yang tidak diimbangi dengan kenaikan anggaran kesejahteraan sosial.
"DPR juga membiarkan alokasi subsidi non energi stagnan dan cenderung diturunkan, bahkan DPR menyetujui pencabutan subsidi langsung yang menyangkut kehidupan rakyat miskin seperti subsidi kedelai, subsidi minyak goreng," kata Yenni.
Pada bagian lain, FITRA juga menyorot pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kontribusinya terhadap APBN masih relatif kecil.
BUMN dinilai masih saja menjadi "sapi perahan" termasuk pengelolaan laba ditahan di BUMN sebesar Rp407,5 triliun yang berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan karena tidak ada aturan atau regulasi dalam pengelolaannya.
"DPR seharusnya mampu melakukan tekanan terhadap pemerintah, bahwa laba ditahan di BUMN tersebut mestinya dapat dimanfaatkan untuk menutup defisit sebesar Rp80 triliun demi kepentingan rakyat," tegasnya.
Untuk itu tambah Yenni, menjelang Pemilihan Legislatif pada April 2014, kesadaran atas peran DPR dalam menjamin kesejahteraan masyarakat perlu dipertegas terhadap calon-calon wakil rakyat.
"Jangan pilih calon legislatif yang tidak memiliki kualitas dalam menjalankan fungsi budgeting," katanya.