REPUBLIKA.CO.ID, PANGKALPINANG -- Harga sembilan bahan pokok (sembako) di Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung (Babel) naik. Penyebabnya, karena pasokan kurang dan biaya produksi di daerah sentra produksi di Pulau Jawa dan Sumatra meningkat.
"Saat ini harga gula pasir mencapai Rp 13 ribu dari sebelumnya Rp 12 ribu per kilogram," kata pedagang sembako, Dori di Pangkalpinang, Ahad (9/3).
Ia menjelaskan, saat ini tidak hanya harga gula pasir yang mengalami kenaikan. Tetapi juga beras yang naik menjadi Rp 56 ribu dari Rp 54 ribu per kampil (satuan isi lima kilogram). Sementara harga minyak goreng masih bertahan tinggi Rp 12.500 per liter dari sebelumnya Rp 11 ribu.
"Kenaikan harga sembako ini berdampak terhadap permintaan konsumen yang mengalami penurunan yang cukup tinggi," katanya.
Untuk mengantisipasi kerugian akibat kenaikan harga pedagang terpaksa membatasi pasokan.
"Harga sembako di distributor dalam dua pekan terakhir berfluktuasi. Apabila harga di tingkat distributor turun, kami terpaksa menurunkan harga barang jika tidak konsumen beralih membeli kebutuhannya ke warung lainnya," ujarnya.
Menurut dia, harga sembako menjadi polemik bagi para pedagang. Akibat stok barang yang menumpuk pedagang terpaksa harus menjual dengan harga yang lebih murah dibandingkan saat membeli dari distributor.
"Sebetulnya tuntutan supaya harga murah datang dari para pembeli yang tahu bahwa harga sembako saat ini sedang turun. Saya juga tidak bisa berbuat lebih banyak jika harus kehilangan langganan yang lari ke pedagang lain," katanya.
Ia mengaku tidak mengetahui penyebab harga gula, beras dan lainnya naik. Karena harga sudah ditentukan oleh pihak distributor.
Bahkan dia juga mencurigai telah terjadi praktik permainan dalam perdagangan gula yang mengakibatkan harga tidak stabil.
"Mungkin ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki modal besar untuk mempermainkan harga. Karena naik turunnya harga sembako sering terjadi," katanya.
Hendi, pedagang lainnya menambahkan, kenaikan harga sembako mengakibatkan permintaan konsumen berkurang.
"Saat ini kami sulit menjual stok yang ada karena harga dan hasil perkebunan seperti karet, sawit, lada putih berkurang, serta warga tidak lagi diperbolehkan menambang bijih timah karena tidak memiliki izin penambangan dari pemerintah," ujarnya.