Ahad 09 Mar 2014 09:45 WIB

PK Berkali-kali? Penuhi Syaratnya Dulu

Rep: indah wulandari/ Red: Muhammad Hafil
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membatalkan Pasal 263 Ayat (3) Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 263 tersebut mengatur bahwa langkah hukum Peninjauan Kembali (PK) hanya bisa dilakukan sekali. Kini, pengajuan PK bisa berkali-kali.

 Pertimbangan yang dijadikan majelis Hakim Konstitusi untuk membatalkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah bahwa proses peradilan harus sampai pada kebenaran materiil yakni suatu kebenaran tanpa keraguan. MK juga mengutip asas bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Hal itu berkaitan dengan kepastian hukum. Namun, menurut MK, asas tersebut tidak harus diterapkan secara kaku.

 Prasetyo, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, menilai putusan MK ini memiliki dua sisi berbeda. “Satu sisi ini demi kedalaman materi yang hakiki. Namun, di sisi lain, ini hanya menunda kepastian hukum,” ucapnya, Ahad (9/3).

MA, menurutnya, akan kewalahan jika tak ada batasan untuk pengajuan. Sehingga harus ada seleksi dan harus dicermati betul novum (bukti baru) yang diberikan. MA pun dinilainya tak perlu segan untuk menolak pengajuan PK jika tak sesuai. 

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa PK yang diputuskan oleh MK adalah sebagai upaya hukum luar biasa, untuk mencari keadilan. Pasalnya, ungkap Romli, keadilan tak berbatas dengan tempat dan waktu, tidak serta merta hukuman dijalankan, keadilan sudah selesai.

“Syarat PK harus dipenuhi, seperti novum, jadi tidak sembarangan terpidana untuk mengajukan PK, tidak mudah juga untuk menemukan novum yang kuat. Mau seribu terpidana mengajukan PK pun, MA sangat bisa untuk menyaringnya,” tegas Romli yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi ini.

 Romli menambahkan, putusan MK tentang PK ini bukan asal main diputuskan, menurutnya ini sudah melewati pengujian yang cukup panjang. “MK memang pernah menolak permohonan uji materi terkait hal ini pada tahun 2010. Namun sekarang MK justru mengabulkan uji materi ini karena kondisinya berbeda serta ada beberapa alasan kuat, MK akhirnya memutuskan peraturan ini,” ucap Romli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement