REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterbatasan SDM penegak hukum menjadi hambatan pemberantasan situs porno. Unit kejahatan siber misalnya, hanya ada di Bareskrim Polri dan Polda. Sedangkan di tingkat Polres dan Polsek belum ada.
"Ini menjadi salah satu faktor lemahnya pemberantasan pornografi," jelas Pakar IT Ruby Alamsyah, kepada Republika, Jumat (7/3).
Mereka terus bekerja berdasarkan laporan masyarakat. Namun permasalahannya, terlalu banyak laporan masuk. Polri akhirnya kesulitan menindaklanjuti laporan tersebut.
Penyelidikan dan penyidikan terus dilakukan, namun tidak semuanya dapat diselesaikan. Satu laporan saja, memakan waktu panjang untuk sampai ke penyidikan.
"Jadi ini proses panjang yang memakan waktu," imbuhnya. Sementara situs porno terus dapat diakses dengan mudah. Mereka terus menjamur dan dapat diakses dengan mudah.
Berdasarkan survei Yayasan Kita dan Buah Hati, lebih dari 80 persen anak-anak di Jabodetabek mengakses situs porno tanpa disengaja. Sejumlah 20 persen lainnya ada yang tidak tahu. Hanya sebagian kecil yang disengaja.
Hal ini menandakan ada kelalaian dari orang tua, lingkungan, dan regulator. Lembaga eksekutif selaku penyelenggara negara membiarkan hal ini terjadi. Akhirnya generasi muda bangsa dirugikan. Mereka seperti dipaksa untuk mengakses pornografi.