REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah/Muhammad Subarkah
Di kalangan ulama sudah tidak ada perdebatan lagi.
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, obat dan vaksin harus masuk dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang kini tengah dibahas DPR.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim mengatakan, konsumen berhak mengetahui status kehalalan vaksin dan obat.
Dia berpendapat sikap Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang meminta vaksin dan obat tidak dimasukkan dalam RUU JPH adalah sikap yang kurang tepat.
“Sikap Menteri Kesehatan itu sama saja menghilangkan hak konsumen. Ibu Menkes tidak tahu hukum Islam,” ungkap Lukmanul Hakim saat dihubungi, Ahad (2/3).
Lukmanul Hakim menambahkan, untuk kedaruratan dan keadaan mendesak berlaku hukum kedaruratan. Namun, konsumen harus tahu dulu status kehalalan obat dan vaksin yang mereka konsumsi. "Jangan membuat masyarakat tidak tahu statusnya (halal atau tidak)," katanya.
Dalam pandangan hukum Islam, tidak ada jalan tengah terkait status kehalalan makanan dan obat. Di kalangan ulama, hal ini tidak ada perdebatan lagi.
"Ini kemunduran luar biasa bagi bangsa Indonesia kalau vaksin dan obat tidak masuk dalam RUU JPH," ujar Lukmanul Hakim menjelaskan.
Dia meminta agar dalam RUU JPH yang pembahasannya masih berlangsung di Komisi VIII harus mencakup produk apa saja yang wajib bersertifikat halal. Pembahasan RUU JPH yang mandek, menurutnya, menggambarkan perbedaan pendapat pemerintah dengan MUI.
Menurut Lukmanul Hakim, mandeknya pembahasan RUU JPH menjadi salah satu penyebab Indonesia tidak masuk dalam posisi negara tujuan wisata halal.
Posisi lima teratas berturut-turut ditempati oleh Malaysia, Uni Emirat Arab, Turki, Indonesia, dan Arab Saudi. “Ini yang membuat wisata halal jadi lambat. Makanya, tidak aneh kalau begitu,'' ungkapnya.
Ketua Bidang Ekonomi dan Produk Halal Majelis Ulama Indonesia Amidhan Saberah mengatakan, permasalahan pembahasan RUU JPH saat ini bukan terletak pada siap atau tidak siapnya pemerintah.
Namun, kata Amidhan, harus adanya pasal dalam RUU yang mengatur sertifikasi vaksin dan obatan. “Baik sekarang atau nanti RUU JPH dibahasnya, obat tetap harus bersertifikat halal,” tegas Amidhan, Ahad (2/3).
Namun, Amidhan bisa memahami jika alasan penundaan dari Menkes adalah karena sempitnya masa kerja anggota DPR periode 2009-2014 menjelang Pemilihan Umum 2014. “Kalau undang-undang disahkan tergesa-gesa, khawatir ada yang tidak maksimal,” katanya.
Amidhan menilai, ada dua hal yang menjadi polemik obat halal. Pertama, obat harus disertifikasi halal dengan dasar Allah SWT menjamin semua penyakit ada obatnya. Begitu pula Rasulullah SAW yang menyuruh umat Islam untuk berobat tidak dengan obat yang haram.
“Auditor pangan, obat, dan kosmetika LPPOM MUI juga sudah mengatakan, penelusuran zat dalam obat tidak lebih rumit dari pangan,” kata Amidhan.
Adapun yang kedua yakni harus ada kebulatan suara atas esensi RUU JPH ini. Amidhan melihat masih ada orang yang berpikir obat halal itu tidak diperlukan.
Jika persoalannya lembaga mana yang bertanggung jawab soal kehalalan, Amidhan mengatakan, MUI dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selama ini bekerja sama dengan baik.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Abdul Jamil menambahkan, payung hukum soal jaminan produk halal juga diperlukan untuk menentukan obat halal.
Tidak hanya produk seperti makanan dan minuman, obat-obat bersertifikat halal juga penting artinya bagi umat Islam di Indonesia.
“Bagaimanapun, jaminan hukum halal itu penting bagi masyarakat Muslim, khususnya di tengah beredarnya berbagai jenis makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan sebagainya,” tutur Abdul Jamil.