REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembentukan Paspampres Grup D untuk mengamankan mantan Presiden dan Wakil Presiden dinilai berlebihan. Pengawalan katat tersebut justru menimbulkan pertanyaan, persoalan apa yang akan terjadi pada Presiden SBY setelah dia lengser.
Pengamat Politik LIPI, Siti Zuhro mengatakan, pengamanan itu sudah diatur proporsional untuk para kepala negara sekarang ini, maupun mereka yang telah turun dari jabatannya. Menurut dia, tidak perlu ada ketakutan yang berlebihan, hingga terbitkan kebijakan
“Publiklah yang akan menilai, apa permasalahan Presiden SBY sebenarnya? Sebab mantan Presiden Soeharto yang dinilai otoriter 35 tahun menjabat, lalu dikudeta, tidak terbitkan aturan pengawalan sebelum lengser,” kata Siti pada Republika saat dihubungi, Selasa (4/3).
Masyarakat akan menyoroti peraturan tersebut. Sebab, di tengah sistem demokrasi yang diterapkan, Presiden SBY justru dianggap memayungi dirinya. Dia menambahkan, munculnya kebijakan ini menjadi preseden buruk bagi Indonesia.
Belum lama ini, Sekjen Partai Demokrat sekaligus anak Presiden SBY, Edhi Baskoro (Ibas) memang disebut-sebut terlibat dalam dugaan kasus korupsi SKK Migas. Penjagaan keamanan ini mencerminkan ada sistem kekebalan hukum terhadap keluarga mantan pimpinan negara.
“Kalau memang urusannya soal hukum, biarkan saja prosesnya berjalan. Kenapa harus pakai pengamanan segala. Kalau Pemerintah pro penegakan hukum seharusnya, tidak ada pihak yang dianggap kebal hukum,” ujar dia.
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko meresmikan Grup D Paspampres TNI di Lapangan Hitam Mako Paspampres TNI Tanah Abang, Jakarta, Senin (3/3) kemarin. Grup D yang dikomandani oleh Letkol Inf Novi Helmy Prasetya lulusan ditugasi melaksanakan pengamanan fisik jarak dekat terhadap mantan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya.