Sabtu 01 Mar 2014 06:00 WIB

Pakar: Perlu Regulasi Kuat Untuk Kelola Jabodetabekjur

Rep: Andi Nurroni/ Red: Bilal Ramadhan
Banjir yang sudah berlalu menyisakan sejumlah penyakit di warga.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Banjir yang sudah berlalu menyisakan sejumlah penyakit di warga.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR— Akademisi dan pemerhati lingkungan menilai daya dukung kawasan megapolitan Jabodetabekjur sebagai episentrum Indonesia terus melemah akibat alih fungsi lahan. Selain mengancam kehidupan warganya, masalah tersebut kian melemahkan daya tawar Indonesia di mata dunia. Sebagai solusi, diperlukan regulasi dan lembaga yang kuat untuk merestorasi kawasan tersebut.

Ahli tata ruang dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor (IPB) Ernan Rustiadi menggambarkan, sejak tahun 1970 hingga sekarang, Jabodetabek telah kehilangan 60 persen ruang terbuka hjau (RTH). Utamanya, alih fungsi lahan terjadi dari sawah dan hutan menjadi kawasan pemukiman, yang mengakibatkan bermacam bencana ekologis. “Sekarang ini, hujan sedikit, banjir, hujan sedikit longsor. Dulu tidak seperti itu,” ujar Ernan.

Menurut Ernan, untuk menanggulangi problem pelik Jabodetabekjur, diperlukan regulasi yang kuat dan lembaga berkekuatan hukum. Dari gagasan tersebut, menurut Ernan, kini pihaknya tengah berupaya menyokong RUU mengenai pengelolaan terpadu wilayah Jabodetabekjur yang penyusunannya dimotori Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

“Saat ini kami sudah memasuki tahap penyusunan naskah akademis. Kajian akademis yang mendalam diperlukan sebagai syarat hadirnya UU tersebut,” kata Ernan, dijumpai disela seminar menyangkut UU pengelolaan Jabodetabekjur bersama Komite I DPD RI, di IPB International Convention Center (ICC), Kamis (28/2).

Ernan menjelaskan, dalam UU tersebut, nantinya akan diatur secara jelas tanggung jawab masing-masing wilayah. Hal tersebut menurut dia agar tercipta kesepahaman tentang arah pembangunan di kawsan megapolitan tersebut. Ernan mencontohkan, ketidakjelasan tanggung jawab telah memunculkan istilah “hibah” untuk bantuan dana yang diberkan DKI Jakarta kepada Kabupaten Bogor untuk menata Kawasan Puncak. Menurut Ernan, istilah itu tidak akan ada ketika semua diberikan tanggung jawab jelas.

Untuk membangun sinergi antartiga provinsi dan sejumlah kabupaten/kota di kawasan tersebut, Ernan menakankan pentingnya kehadiran lembaga yang memiliki kekuatan hukum kuat. Menurut Ernan, model pengelolaan Jabodetabek dengan sebagatas koordinasi antarpimpinan daerah tidak efektif. Sementara, menurut dia, kehadiran Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Bodetabekjur  juga tidak bisa berperan banyak karena tidak dipimpin oleh pejabat berkekuatan hukum tinggi.

“Nanti, lembaga itu bisa jadi dipimpin pejabat setingkat menteri. Tapi tidak harus membuat khusus menteri Jabodetabekjur,” kata Ernan sedikit berseloroh.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement