Sabtu 01 Mar 2014 06:00 WIB

Negarawan atau Politisi

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asma Nadia

Ada dua jenis pemimpin birokrasi, negarawan atau politisi. Seorang negarawan sepenuhnya berpikir untuk kepentingan rakyat, sedangkan politisi selalu berbicara kepentingan politik, entah tujuan pribadi maupun kelompok atau golongan. Politisi yang jadi pemimpin cenderung mengutamakan kepentingan politik bahkan rela mengabaikan tindakan yang berujung kebaikan, kalau kebaikan tersebut akan memberi keuntungan bagi lawan politiknya.

Saya jadi ingat betapa peraturan saat ini mempersulit seseorang maju menjadi calon presiden secara independen karena para politisi di partai politik takut kehilangan pengaruh, sehingga “memaksa” rakyat untuk memilih presiden yang diajukan partai. Padahal banyak tokoh masyarakat dengan kualitas negarawan yang layak menjadi calon pemimpin Negara, tapi terpaksa tidak bisa dipilh rakyat karena kebanyakan tokoh berbobot tersebut sudah alergi dengan partai politik.

Saya juga mendengar kisah sebuah tim sepak bola kebanggaan suatu kota wilayah yang terkatung-katung nasibnya karena tidak mendapat dukungan sama sekali dari wali kota yang menjabat sekalipun prestasinya sangat bagus dan bisa mengharumkan nama kota. Setelah diusut ternyata sebagian besar manajemen dan petinggi tim sepak bola tersebut merupakan lawan politik sang wali kota. Nampaknya sang wali kota tidak ingin membesarkan sesuatu yang akan memberikan citra baik untuk lawan politiknya. Tapi saya bersyukur masih ada pemimpin lokal yang bersifat negarawan seperti Ibu Tri Rismaharini. Seorang walikota yang bergerak atas nama hati nurani dan menyadari tugas yang diemban sebagai amanah Allah, bukan ambisi kepentingan pribadi atau kelompok partai tertentu.

Di pagi hari tak jarang sang wali kota langsung turun untuk ikut membereskan sampah yang mengotori kota. Baginya memimpin dengan contoh merupakan dasar kepemimpinan yang sangat penting. Ketika menghadapi macet sang walikota tak segan turun ikut membereskan kemacetan lalu lintas. Di hari lain tak segan pula beliau pergi ke pasar sekedar untuk berbincang dengan masyarakat dan menampung keluhan mereka. Tidak seperti kebanyakan pejabat yang hanya menampung, keluhan itu langsung diproses menjadi sebuah kebijakan.

 

Tapi yang mengagumkan adalah semua dilakukan sebagai rutinitas tugas,bukan pencitraaan. Melainkan banyak masyatakat melihat apa yang dilakukan digerakkan dengan hati. Ada yang meliput atau pun tidak ada, sang wali kota tetap terlihat bekerja total. Bahkan sang wali kota justru diliput berbagai media ketika ingin mengundurkan diri. Masyarakat yang sadar betapa berharganya sang pemimpin, memintanya untuk tidak mengundurkan diri.

Menurut saya apa yang dilakukan Ibu Risma adalah salah satu ciri pemimpin yang negarawan. Mereka berbuat sesuatu yang terbaik untuk rakyat tapi rela kehilangan jabatan jika harus memilih kepentingan rakyat atau kepentingan lain.

Sebenarnya ada pemimpin tipe ketiga. Yakni politikus yang berwujud negarawan. Memang jenis ini tidak ideal, tapi juga tidak buruk-buruk amat. Jenis politisi yang menjalankan tugas tetapi selalu memilih tugas yang dapat meningkatkan pencitraan dirinya. Jika dia harus turun ke daerah bencana, mengunjungi korban banjir atau mendengarkan keluh kesah TKI yang menjadi korban kekerasan, maka hal itu akan dilakukan jika bisa meningkatkan citra dirinya. Pemimpin jenis ini di mata rakyat tetap juga dibanggakan, tapi entah bagaimana di mata Allah.

Kalau yang ideal menurut saya adalah jenis keempat, negarawan yang memahami dunia politik. Pemimpin yang menjalankan tugas sebaik mungkin tapi juga mengerti bagaimana mempertahankan diri untuk kepentingan rakyat. Ia bertahan pada jabatan bukan karena ambisi tapi karena sadar bahwa ia adalah benteng buat rakyatnya sehingga ia mempertahankan jabatan untuk rakyat.

Sayangnya banyak negarawan yang kadang merasa takut dianggap ambisius jika harus mempertahankan kekuasaan. Padahal di mata Allah, ambisius untuk menjaga amanah adalah kebaikan. Abu Bakar tidak tinggal diam ketika ada orang yang mengaku khalifah baru, bukan karena ambisius ia memeranginya tapi karena ia harus melakukannya. Rasulullah menjadi pemimpin sampai akhir hayat bukan karena ambisius tapi karena itu adalah tugas yang diembannya. Indonesia butuh pemimpin yang negarawan, tapi juga tidak terlalu lugu dengan dunia politik, sehingga bisa tampil berbuat untuk rakyat sebanyak-banyaknya dan secara nyata menggerakkan roda perubahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement