Rabu 26 Feb 2014 06:00 WIB

Media Karakter

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Media memiliki peran penting dalam menghadapi krisis karakter di tengah masyarakat. Media mencerminkan realitas sosial sekaligus mempengaruhi realitas sosial. Krisis karakter yang melanda bangsa ini sedikit-banyak tercermin dalam “bahasa” yang dominan dalam media saat ini.

Simaklah berita dan siaran di media massa. Akan segera kita temukan jenis ”bahasa” apa yang dominan mewarnai wacana publik. Berita dan siaran media  sangat jumbuh dengan “bahasa politik” dan “bahasa

ekonomi”. Bahasa politik  lebih mempedulikan, “siapa yang menang” (who’s winning)? Bahasa ekonomi selalu bertanya, “dimana untungnya” (where’s the bottom line)? Di luar itu, bahasa yang

dominan di media kita adalah “bahasa infotainment”, yang kerap bertanya, “siapa yang bercerai dan berselingkuh”?

Jika kita hendak maju secara budaya, sepatutnya mesti ada satu bahasa lagi dalam wacana publik, yang mempertanyakan, “apa yang benar” (what’s right)?” Bahasa ini merupakan bahasa yang unik yang

membuat kita tak terlalu nyaman membincangkannya. Dan untuk membuat kita nyaman berbincang dalam bahasa ini di masa depan, kita memerlukan pendidikan karakter sejak dini.

Thomas Lickona dalam buku terkenalnya, Educating for Character (1991), menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Ia menegaskan bahwa tatkala kita berfikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakininya benar—bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan persambungan antara peran sekolah dengan peran komunitas, serta agen-agen sosial lainnya. Komunitas harus menolong sekolah untuk memahami nilai-nilai yang penting lantas mendukung program-programnya. “Jangan pernah mencoba menyusun program pendidikan karakter tanpa melibatkan komunitas terlebih dahulu, karena tatkala anda mulai menjalankan progam akan ada suara yang mempertanyakan, nilai-nilai siapa yang diajarkan?

Dalam konteks ini media memainkan peran penting dalam sosialisasi moral publik serta sebagai jembatan yang menghubungkan anak-anak dengan dunia kehidupan. Dalam mengatasi krisis sosial, media bisa berperan penting dalam proses belajar sosial, pemberian role model yang positif serta pemberian label yang sesuai dengan tuntutan.

Patologi sosial terjadi akibat kegagalan sosialisasi norma-norma moralitas, dan solusinya adalah penyempurnaan proses belajar sosial. Dalam kaitan ini, teori “belajar sosial” menekankan pentingnya

proses identifikasi dan imitasi dalam pembentukan sikap seseorang. Identifikasi itu bisa dilakukan terhadap model-model yang bersifat abstrak (abstract modeling),  seperti sikap , nilai atau persepsi realitas sosial. Tentang tokoh mana dan nilai mana yang akan dijadikan model panutan, sepenuhnya tergantung pada karakteristik personal, kategori sosial, serta daya tarik stimulus eksternal.

Sejauh yang menyangkut faktor-faktor eksternal, sekarang ini Indonesia tengah menjadi medan pertarungan antaragen pewaris nilai, sebutlah, antara agen tradisional (keluarga, sekolah, dan institusi keagamaan) dengan agen “modern”, dengan media massa (khususnya media elektronik) sebagai agen utamanya. Kedua agen ini sama-sama memperluas medan simboliknya, dengan kecenderungan semakin kuatnya daya tarik dan pengaruh media massa. Kisah tentang meningkatnya anak-anak _brokenhome_,

berkembangnya rasa bosan terhadap sekolah, maraknya perkelahian pelajar, munculnya sekte-sekte keagamaan dan bentuk-bentuk eskapisme (pelarian psikologis) lainnya, merupakan tanda-tanda melemahnya daya tarik agen-agen tradisional ketika berhadapan dengan agen-agen sosialisasi

nilai yang baru.

Kegagalan peran dan fungsi agen tradisional dalam sosialisasi nilai-nilai moralitas, akan semakin memperkuat peran media dalam membentuk karakter seseorang. Melesatnya perkembangan televisi swasta, meluasnya terpaan media, timbulnya rumah-rumah produksi, dan meruyaknya wacana dampak media massa, merupakan bukti kian kuatnya cengkaman pengaruh agen modern ini.

Menurut Joseph Klaper (1960), media massa cukup efektif terutama dalam mengubah sikap seseorang pada bidang-bidang dimana pendapat dan “keyakinan” orang dalam hal itu lemah, dangkal, dan kurang dianggap begitu prinsip. Sedangkan dalam hal-hal penting, pengaruh media,menurut David Philips (1972) akan kuat daya tularnya terhadap orang-orang rendah diri, kurang kasih saying, sering gagal, kehilangan pegangan hidup dan teralienasi .

Di sini kita melihat bahwa tayangan media bisa memberi banyak perubahan dalam pembentukan karakter seseorang, untuk kebaikan atau keburukan. Peran dan fungsinya konstruktif sejauh media tersebut mampu mengarahkan seseorang ke dalam proses belajar sosial yang baik, dengan menyediakan acara-acara yang menyediakan informasi dan role model yang positif. Peran dan fungsinya bersifat destruktif jika siaran media hanya menyediakan informasi kekerasan, perselingkuhan serta hiburan-hiburan yang merasangsang gaya hidup konsumeris dan kesenangan tanpa kerjakeras, serta role model yang menyimpang dari tuntutan moralitas.

Peran positif dan negatif media ini kian genting seiring dengan pesatnya perkembagan teknologi komunikasi baru yang membuat terpaan media menjadi fenomena yang serba hadir  (ubiquity). Tak salah jika media disebut sebagai “Tuhan Kedua” (the Second God) yang menurut George Gerbner (1967), merupakan mesin ideologi yang paling ideal.

Sebagai mesin ideologi, media bisa berperan penting dalam memberikan label, status dan nilai pada sesuatu. Kecenderungan media untuk senantiasa memberi label positif pada produk-produk asing, memberi dampak kuat dalam pola identitikasi dan asosiasi masyarakat yang cenderung menyukai produk-produk asing, seraya menyepelekan produk-produk dalam negeri. Demokrasi Amerika, dijadikan rujukan ideal, sementara demokrasi Pancasila ditertawakan. Buah-buahan dari Bangkok diburu, sementara buah-buahan lokal diabaikan, dan seterusnya.

Dalam krisis karatker yang bisa mengarah pada kehancuran semua, saatnya pelaku media lebih menunjukannya komitmennya pada pembangunan karakter bangsa!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement