REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTa--Makamah Konstitusi melalui majelis panel menyatakan permohonan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan pengujian UU Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden (UU Pilpres) tidak ada ketentuan yang dijadikan dasar.
"Di mana saudara lihat dasar hukum MK bisa PK, di pasal berapa," tanya Hakim Konstitusi Muhammad Alim kepada kuasa hukum pemohon, Habiburokhman, saat sidang perdana permohonan PK putusan pengujian UU Pilpres di MK Jakarta, Selasa.
Alim juga mengungkapkan bahwa majelis PK itu harus berbeda dengan majelis yang memutuskan sebelumnya.
"Untuk saudara tahu di MA untuk PK majelisnya harus lain, tidak boleh sama. Kalau di MK yang memutus UU Pilpres adalah delapan hakim konstitusi, terus siapa yang akan memutus PK," tegas Alim.
Sedangkan Wakil Ketua MK Arief Hidayat menyatakan pemohon UU Pilpres yang diajukan Partai Gerindra ini telah memotong frasa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 untuk dijadikan dasar permohonan PK ini.
"MK berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir dan sifatnya final dan seterusnya. Tetapi dalam permohonan saudara, itu (frasa) dipotong pada tingkat pertama dan terangkhir sehingga berarti bisa PK," ujar Arief.
Wakil Ketua MK ini menegaskan bahwa frasa tersebut tidak bisa dipotong, sehingga permohonan PK terhadap putusan MK tidak bisa dilakukan. "Kalau menurut majelis tidak bisa frasa dipotong," tegasnya.
Untuk itu Arief menganjurkan pemohon untuk melakukan pengujian UU Pilpres yang baru. "Ajukan permohonan 'judicial review' baru UU pilpres, kan ini sudah pernah diputus, supaya tidak 'nebis in idem', saudara harus jelaskan supaya tidak nebis," saran Arief.
Majelis panel permohonan PK putusan pengujian UU Pilpres ini terdiri Arief Hidayat sebagai ketua majelis panel didampingi Muhammad Alim dan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai anggota panel.
Habiburokhman, saat membacakan permohonannya, mengatakan putusan pengujian UU Pilpres mengandung masalah besar, karena ketidaksinkronan antara poin pertama bahwa pemilu harus dilaksanakan serentak, namun poin kedua baru bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019.
Habiburokhman mengakui pihaknya bisa mengajukan pengujian UU Pilpres yang baru dengan isu kontitusional yang berbeda, namun tidak bisa menyentuh esensi bahwa putusan MK itu memiliki permasalahan yang serius.
MK dalam putusan menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun, putusan tersebut berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga biaya penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya.
Pemilu Presiden serentak dengan Pemilu Legislatif juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.
Namun demikian, tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan.
Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa, tuturnya.
Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.