Selasa 25 Feb 2014 13:42 WIB

Pemda dan Kemendikbud Belum Respon Larangan Berjilbab di Bali

Rep: fuji pratiwi/ Red: Taufik Rachman
 Siswa SDN Banjaran VI Kediri, Jawa Timur, Senin (17/2), dengan menggunakan masker mulai kembali bersekolah.    (Republika/Adhi Wicaksono)
Siswa SDN Banjaran VI Kediri, Jawa Timur, Senin (17/2), dengan menggunakan masker mulai kembali bersekolah. (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Usaha untuk meloloskan izin jilbab siswi di Bali belum mendapat respon baik dari Dinas Pendidikan Pemerintah Provisinsi Bali maupun Pemerintah Pusat.

Sekretaris Umum Pelajar Islam Indonesia Pengurus Wilayah Bali Fatimah Azzahra, Selasa (25/2), mengatakan advokasi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ditangani PB PII. Beberapa data sekolah yang melarang penggunaan jilbab juga sudah diberikan ke PB PII.

Sejauh ini, PII Wilayah Bali belum melihat adanya reaksi dari sekolah yang melarang jilbab kendati persoalan ini telah jadi sorotan nasional. Diakui Zira, sempat ada sekolah yang mencurigai mereka dan ada seorang anggota PII yang dimintai foto kopi KTP. Tapi itu tidak membuat penggalian informasi terhenti.

Untuk sekolah di Kabupaten Badung dan Denpasar yang telah jelas melarang, Zira mengatakan mungkin tim advokasi langsung yang akan datang mengkonfirmasi ke sana.

Sejauh ini Zira belum mendapat informasi apakah ada siswi yang diminta tidak membicarakan persoalan jilbab ini ke pihak di luar sekolah. Tapi, PW PII Bali sudah meminta kesempatan audiensi ke Dinas Pendidikan Negare awal Februari lalu. Sayang, surat itu belum mendapat tanggapan.

Wakil Sekjen Pengurus Besar PII Helmy Al Djufri mengatakan sejauh ini ada 25 sekolah yang terdata melarang jilbab bagi siswi Muslimah di Bali, baik berupa larangan lisan maupun tulisan.

PB PII pernah mengirimi surat permintaan audiensi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali awal Januari lalu. Namun surat berakhir tanpa kejelasan respon sehingga data yang ada masih belum diberikan ke Dinas Pendidikan Provinsi Bali.

PB PII juga sudah mengirimi surat serupa ke Kemedikbud, Kementerian Agama (Kemenag), dan Komisi X DPR RI akhir Januari lalu. Lagi-lagi, surat itu belum membuahkan kabar hingga saat ini.

Usaha mereka menyebarkan data baru bisa mendorong Komnas HAM untuk meninjau langsung ke Bali. Rencananya PB PII akan kembali ke Bali awal Maret ini.

Selama mengumpulkan data, sekolah yang didatangi terbuka menyatakan sikap mengizinkan atau melarang penggunaan jilbab. Bahkan, ada satu sekolah yang menantang untuk membawa persoalan ini ke tingkat dinas pendidikan.

''Persoalan ini sudah berlangsung selama 20 tahun. Ini juga bukan kali pertama PB PII mengangkat pelarangan jilbab di sekolah-sekolah di Bali,'' tutur Helmy.

Saking lamanya larangan ini berjalan, umat Islam Bali sudah tahu dan tak sedikit yang pasrah. 2002 hingga 2003 lalu, isu larangan jilbab ini sempat ramai juga di Bali. Namun tidak menjadi perhatian nasional hingga persoalan itu kembali sunyi.

Di era keterbukaan seperti ini, PB PII juga tak habis pikir mengapa pengunaan jilbab di sekolah dianggap hal aneh. Walau memang, di antara atribut agama lainnya, jilbab boleh dibilang jelas terlihat.

PB dan PW PII sendiri terus fokus membina siswi yang ingin berjilbab sambil terus mengumpulkan data. Kebijakan final, kata Helmy, tetap ada di pemerintah pusat. Pembinaan siswa jadi upaya yang dioptimalkan.

Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Welya Safitri, mengatakan belum ada laporan masuk dari MUI Bali tentang larangan jilbab di sekolah ini. Namun Welya memandang, tidak ada alasan untuk melarang jilbab di sekolah.

''Kalau dilarang, berarti ada yang dilanggar, padahal kebebasan beragama dijamin undang-undang dasar dan undang-undang HAM,'' kata Welya.

Ia yakin, akan ada saat dimana pemerintah daerah Bali menanggapi persoalan ini. Biar bagaimanapun, keinginan siswi berjilbab di sekolah harus difasilitasi.

''Apa salahnya berjilbab? Itu kewajiban Muslimah. Kalau sekarang melarang jilbab, sama saja melarang atribut agama lain,'' ungkap Welya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement