REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG--Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R. Siti Zuhro berpendapat pemilihan umum tidak semestinya menciptakan efek teror dan perasaan tidak nyaman bagi kontestan sehingga mengaburkan makna esensial dari pemilu itu sendiri.
"Pemilu yang demokratis, etis, dan bermartabat tidak memerlukan operasi intelijen karena pemilu wajib dilaksanakan secara transparan dan akuntabel," kata Prof. Wiwieq (sapaan akrab peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D.) ketika dihubungi dari Semarang, Minggu.
Prof. Wiwieq yang juga dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta mengemukakan hal itu ketika menjawab pertanyaan Antara seputar isu penyadapan terhadap politikus.
Lebih lanjut Prof. Wiwieq mengatakan, "Mengamati dinamika politik pada tahun pemilu sekarang ini menarik. Salah satunya karena kompetisi dan kontestasi yang dipertontonkan oleh partai-partai politik cenderung kurang menggairahkan warga pemilih."
Di tengah besarnya harapan rakyat terhadap hasil pemilu nanti, kata Prof. Wiwieq, partai-partai bukannya meresponsnya secara positif harapan tersebut, yang muncul justru kompetisi sengit yang hanya mencari kekurangan dan kesalahan rival-rivalnya.
Harapan rakyat, menurut Prof. Wiwieq, yang semestinya direspons partai-partai dengan menyampaikan program, visi, dan misinya serta rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) serta calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak kontroversial.
Namun, yang terjadi justru malah sebaliknya, yaitu munculnya isu penyadapan.
Kalau benar penyadapan itu dilakukan oleh rival politik PDI Perjuangan, kata Prof. Wiwieq, kompetisi atau kontestasi dalam demokrasi kehilangan maknanya.
"Isu penyadapan terhadap Jokowi (Gubernur DKI Jakarta, red.) dan kegiatan mematai-matai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri telah mengotori proses demokratisasi dan pemilu sehingga membuat politik kita jadi keruh," tegasnya.
Dengan penyadapan tersebut, lanjut alumnus Curtin University, Perth, Australia itu, bukannya kontestasi yang terbangun, melainkan perilaku "pengecut" yang hanya berani menghadapi lawan melalui cara-cara tidak terpuji.
"Adalah jelas demokrasi memberikan ruang kontestasi atau kompetisi yang transparan dan akuntabel kepada semua kontestan dan partai politik. Inilah yang semestinya dibangun bersama oleh para elite partai dalam menjalani tahapan-tahapan pemilu sekarang ini," katanya.
Oleh karena itu, Prof. Wiwieq menekankan, "Siapa pun yang melakukan tindakan tidak terpuji belakangan ini, misalnya dengan melakukan penyadapan dan mematai-matai, patut menghentikan perbuatannya tersebut sebelum perilaku negatifnya menuai efek balik yang justru makin mendelegitimasi dirinya sendiri."