REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan, Wahidin Kamase meminta Kejaksaan Negeri Makassar tidak diskriminasi serta tebang pilih dalam menangani sejumlah kasus korupsi.
"Kejaksaan tidak boleh melihat seseorang, apalagi yang sudah berstatus tersangka dengan melihat latar belakangnya. Kejaksaan tidak boleh diskriminasi apalagi tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi ataupun kasus lainnya," ujarnya di Makassar, Kamis.
Ia mengatakan, kejaksaan harus melakukan penahanan terhadap dua orang tersangka yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi penyelesaian hak atas tanah Gedung Olah Raga Sudiang Makassar senilai Rp3,2 miliar.
Dalam kasus ini dua orang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka karena diduga telah merugikan keuangan negara yakni mantan Kepala Biro Perlengkapan Provinsi Sulawesi Selatan AW dan Mantan Lurah Sudiang Raya AI.
"Keduanya harus ditahan, tidak boleh tidak. Apalagi, besok Jumat (21/2) sudah pelimpahan tahap dua yang artinya sidangnya akan segera dilaksanakan karena kasusnya sudah dirampungkan," ujarnya.
Kepala Seksi Tindak Pidana Korupsi (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri Makassar Joko Budi Darmawan mengatakan, dirinya baru melaksanakan ekspose rencana dakwaan (Rendak) sebelum berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dirinya juga mengaku belum bisa memutuskan apakah akan menahan kedua orang tersangka itu pada saat pelimpahan tahap dua karena semua keputusan ada pada jaksa penuntut umumnya.
"Nanti kita lihat apakah ditahan atau tidak karena keputusan itu ada sama penuntut umumnya. Yang baru akan kita lakukan sebelum dilimpahkan berkasnya yakni melakukan ekspose rendak terlebih dahulu serta menunggu kedatangan tersangka untuk pemeriksaan akhir," katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulsel Andi Mualim juga pernah diperiksa selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang mengeluarkan surat keputusan (SK) penunjukan Jufri Rahman selaku ketua tim teknis.
"Berdasarkan peran masing-masing keduanya adalah orang yang paling bertanggungjawab dalam kasus ini dan keduanya masuk dalam bagian tim teknis yang kemudian membayarkan uang ganti rugi lahan," katanya.
Joko mengaku, penetapan tersangka tidak langsung dilakukan, tetapi setelah memeriksa sejumlah saksi-saksi dan alat bukti berupa dokumen-dokumen yang telah disita.
Di tempat yang sama Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Makassar Syahrul Juaksha juga menuturkan jika fakta perbuatan kedua tersangka dinilai memenuhi unsur.
Pada pelepasan tanah GOR Sudiang tahun 2007 lalu senilai Rp3,2 miliar ditemukan penyimpangan berdasarkan fakta tanah tersebut sudah pernah dibebaskan tahun 1994 lalu kemudian dibayarkan kembali pada tahun 2007.
Pembayaran ganti rugi tanah GOR Sudiang tahun 2007 kepada lima orang warga diketahui menyimpang berdasarkan putusan Mahkamah Agung terhadap MN salah seorang penerima ganti rugi. Putusan tersebut menyatakan akta jual beli tanah sebagai dasar MN menerima ganti rugi senilai Rp1,6 miliar ternyata palsu.
Setelah ditelusuri pada tahun 1994 tanah GOR Sudiang sudah dibebaskan seluas 74 hektar termasuk yang dianggarkan melalui Biro Perlengkapan Provinsi Sulawesi Selatan.
Diketahui dalam perkara pembebasan lahan GOR Sudiang tahun 2007 ini diduga kuat adanya pelanggaran berupa salah bayar dan indikasi pemalsuan surat-surat untuk penerima ganti rugi senilai Rp3,2 miliar.
Pemberian ganti rugi tanah kepada warga diketahui menyimpang salah satunya dengan pembayaran kepada Dg Mangga yang menggunakan akte Jual Beli Palsu. Tanah tersebut juga sudah pernah dibebaskan dan dalam penguasaan Pemerinta Provinsi Sulsel.