Rabu 19 Feb 2014 15:30 WIB

Tunanetra Memilih Golput Dalam Pemilu

Rep: Edy Setiyoko/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah siswa penyandang tuna netra dibantu oleh mahasiswa panitia dalam mengerjakan Ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN) 2013 di Fakultas Hukum UI, Depok,  Selasa (18/6).   (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Sejumlah siswa penyandang tuna netra dibantu oleh mahasiswa panitia dalam mengerjakan Ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN) 2013 di Fakultas Hukum UI, Depok, Selasa (18/6). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, BOYOLALI-- Kaum difabel, khususnya penyandang tuna netra, mengaku diperlakukan secara tidak adil, atau diskriminatif dalam penyaluran aspirasi politiknya dalam Pemilihan Umum (Pemilu).

 

Penyandang cacat, seperti, tuna daksa, tuna rungu, masih bisa menyalurkan aspirasi politik dalam Pemilu, tanpa kendala. Namun, penyandang cacat tuna netra tidak diperhatikan oleh panitia penyelenggara Pemilu. Jadi, khusus penyandang tunanetra diperlakukan beda dengan penyandang difabel yang lain.

Pemegang hak pilih Raminem (45), misalnya. Warga Desa Senting, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, sejak Pemilu Leglatif (Pileg) 2009, Pemilihan Bupati (Pilbub) 2012, dan Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2013, terpaksa tidak menyalurkan aspirasi politiknya, alias masuk golongan putih (Golput). Ia sengaja tidak datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara).

Raminem bersama suami, Ranto (50) memang sengaja tak datang ke TPS. Pasangan suami-isteri penyandang tuna netra ini mengaku kapok, atau trauma ketika hendak mencoblos. Saat keduanya datang ke TPS, didampingi anaknya yang ikut masuk ke bilik suara. Tanpa serta-merta, pihak panitia menolak dan melarang anaknya mendampingi.

Yang lebih menyakitkan, pihak panitia TPS yang melarang anaknya ikut masuk dengan nada tinggi. Perlakuan semacam inilah yang membuat pasangan suami-isteri ini trauma ikut Pemilu. ''Daripada diperlakukan pilih kasih demikian, mending tidak usah ikut nyoblos''.

Sepengatahuan Ruminem, ''Pemegang hak pilih boleh didampingi keluarga. Saya sering mendengar siaran radio, juga demikian''. Namun, panitia tetap melarang. Orang mau nyoblos harus didampingi salah satu panitia.

Raminem tidak jadi nyoblos. Ia pulang dan lapor pada suami. Sang suami mendengar aduan isterinya demikian, ia juga tidak jadi ikut nyoblos. Keduanya, pilih melakukan aktivitas didalam rumah. Ini dilakukan saat berlangsung Pileg 2009. Pilbup 2012, dan Pilgub 2014. Satu keluarga ini merasa kecewa berat, karena tak bisa menyalurkan aspirasi politiknya.

Pasangan suami-isteri ini sebagai penyandang disabilitas. Keduanya sering diremehkan. Perlakuan petugas sering kali malah menyalahkan, karena keterbatasan dalam penglihatan. ''Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk golput dalam berbagai Pemilu. Ini karena hak politik kami di remehkan,'' tegas Ruminem.

Biar tidak menjadikan masalah, penyandang tunanetra minta KPU menyediakan kartu suara huruf braille. Dari dulu, ide ini sering dilontarkan. Namun, hingga kini belum ada realisasinya. Pargito, Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Hubungan Antar Lembaga KPUD kabupaten Boyolali, menyatakan, perlakuan diskriminasi tersebut dimungkinkan karena kurangnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) dan pemahaman panitia pemilihan.

Sehingga pihaknya akan menekankan penekanan kewajiban tugas pada PPK maupun PPS supaya tidak berlaku diskriminatif. Secara hukum, kata Pargito, hal itu tidak dibenarkan, petugas harus melayani secara adil dan memperlakukan penyandang disabilitas secara sama dengan yang lain.

Untuk menjamin kaum disabilitas agar bisa menggunakan hak pilihnya, dalam Pileg mendatang KPUD menjamin mereka tetap bisa menggunakan hak pilihnya. ''Jika ada yang memperlakukan tidak adil, silahkan lapor ke saya,'' pinta Pargito.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement