REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Sosialisasi pemerintah tentang kewajiban pemurnian pasir besi yang minim ke penambang-penambang kecil dikhwatirkan Kadin Jabar.
Menurut Komite Tetap Kadin Jabar Bidang Pertambangan, Tubagus Raditya, sosialisasi yang minim bisa mengundang peluang asing untuk masuk ke pertambangan.
Menurut Tubagus, sejak penghentian aktifitas pasir besi di Jabar selatan beberapa waktu lalu, sampai saat ini proses sosialisasi terkait smelter belum dilakukan.
"Sosialisasi smelter oleh pemerintah sangat kurang, padahal tambang kecil butuh bimbingan soal teknik pemurnian konsentrat itu," ujar Tubagus kepada wartawan, Selasa (18/2).
Tubagus mengatakan, kelonggaran penerapan UU Minerba yang diberikan pemerintah selama tiga tahun pada pasir besi hanya menguntungkan pengusaha bermodal tebal. Sementara untuk pemilik kegiatan penambangan (KP) skala kecil, akan merugikan.
"Mereka yang kuat modal pasti bisa bertahan, untuk KP-KP kecil ini akan sampai kapan?" katanya.
Setelah larangan ekspor dilakukan, kata dia, KP-KP kecil terdampak secara keuangan. Ia menilai pembuatan smelter yang butuh biaya tinggi diprediksi akan merontokan usaha kecil pertambangan pasir besi di Jabar Selatan. Sebab, teknik tersebut tidak disosialisasikan. "KP kecil tiga tahun ke depan bisa kolaps dan mati," katanya.
Praktik eksploitasi penambangan pasir besi di Jabar selatan, diduga disusupi campur tangan asing. Oleh sebab itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mendesak agar hal itu diusut dan ditertibkan.
Menurut Ketua Tim Analisis Panitia Akuntabilitas Publik DPD RI, Faruk Muhammad, pihaknya memberi masukan pada Pemprov Jabar agar mereview (tinjau ulang) izin apa saja yang sudah dikeluarkan. Baik prosesnya, maupun masa berlakunya. Selain itu, harus dingkatkan juga kontrol provinsi.
"Yakni, mewaspadai gejala pengasingan lahan-lahan oleh orang asing," kata Faruk kepada wartawan usai Rapat tentang Pasir Besi dengan Pemprov Jabar, akhir pekan lalu.
Faruk menjelaskan, modus tersebut ditemukan juga di praktik eksploitasi penambangan di Pulau Bima, Sumbawa, dan Lombok. Yakni, orang asing memiliki lahan masyarakat secara tersembunyi. Menggunakan nama penduduk dan rakyat Indonesia.
"Ini saya duga terjadi di Jabar, karena rakyat uangnya dari mana. Asing pakai nama rakyat kita diam-diam, itu yang harus diwaspadai," katanya.
Oleh sebab itu, Faruk meminta, jika ada 'back up' pihak asing, untuk segera dilaporkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebab, eksploitasi oleh pihak asing, jelas melanggar Undang-undang Energi Sumber Daya Mineral, Tenaga Kerja, Lingkungan Hidup, dan Tata Ruang.
DPD RI pun, kata dia, mengapresiasi progres laporan dari pemerintahan daerah di Jabar selatan juga kepolisian. Laporan tersebut, diterimanya saat Rapat di Ruang Papandayan Gedung Sate, Jumat (13/2). "Kami dukung Polda Jabar dan bupati/ wali kota untuk melanjutkan langkah penertiban dan penegakan hukum," katanya.