REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) membutuhkan tambahan hakim konstitusi setelah mundurnya Akil Mochtar karena terjerat kasus dugaan korupsi. Selain itu, satu kursi juga akan kembali kosong karena hakim Harjono akan segera usai masa jabatannya.
Dua kursi kosong di MK itu merupakan porsi DPR untuk mengajukan siapa yang akan mengisinya. Ketua DPR RI Marzuki Alie melihat kondisi yang tidak ideal untuk menentukan dua hakim konstitusi itu. "Ini waktu yang sangat pendek. Saya tidak mengerti apakah DPR mampu menyelesaikan tugasnya itu. Ini berbahaya untuk MK," kata dia, selepas acara diskusi di Cikini, Jakarta, Ahad (16/2).
Marzuki melihat ada beberapa kondisi yang kurang mendukung. MK baru saja mengabulkan gugatan pengujian atas Undang-Undang Nomor 4/2014 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait MK. Di mana di undang-undang tersebut turut mengatur mekanisme pemilihan hakim konstitusi. Padahal sebagian fraksi di DPR sebelumnya sepakat untuk mengesahkan Perppu itu menjadi undang-undang.
Kemudian mengenai waktu untuk DPR bekerja memilih hakim konstitusi. Marzuki mengatakan, hanya tersisa waktu sekitar dua pekan sebelum masa reses. Belum lagi anggota dewan mempunyai kesibukkan tersendiri untuk turun ke daerah pemilihan karena menjelang pemilihan umum.
Marzuki mengaku tidak pesimistis DPR bisa menyelesaikan tugas untuk memilih hakim konstitusi. "Bisa saja dilakukan. Tapi apapun yang dilakukan tergesa-gesa tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik," kata poltisi Partai Demokrat itu.
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, kebutuhan hakim konstitusi untuk mengisi kursi kosong di MK sangat mendesak. Apalagi ini merupakan tahun pemilu di mana MK mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa. Dengan adanya putusan MK, menurut dia, mekanismenya kembali pada aturan lama, tanpa memerlukan panel ahli. "Seharusnya DPR bisa lebih cepat karena kemudian mekanismenya kan terserah mereka," kata dia.
Namun, Refly mengkhawatirkan proses yang berlangsung di MK. Selama ini, ia menilai, banyak kritikan muncul akan pemilihan hakim konstitusi yang tidak transparan, akuntabel, partisipatif, dan objektif. Apalagi syarat calon hakim konstitusi tidak menjadi anggota partai politik selama tujuh tahun harus lebur dengan adanya putusan MK. Ia mengkhawatirkan kepentingan politik bermain dalam proses pemilihan. "Kita harus mengawal. Masak kita rela hakim konstitusi abal-abal," kata dia.