REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan kemungkinan terjadinya politik uang dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) mendatang. ICW melihat modus politik uang tak terjadi hanya saat pencoblosan.
"Mekanismenya bukan hanya pra, tapi juga pasca (pencoblosan)," ujar Wakil Koordinator ICW Ade Irawan, di Jakarta, Sabtu (15/2). Dari hasil temuan ICW, ia mengatakan, pemilih mendapatkan uang setelah mencoblos apabila bisa membuktikan pilihannya sesuai dengan si pemberi.
Menurut Ade, perlu pendidikan politik untuk menyadarkan masyarakat sehingga terhindar dari politik uang. Ia mengatakan, masyarakat harus melihat pemilu sebagai instrumen untuk memilih politikus yang mempunyai integritas. Di sisi lain, masyarakat perlu menghukum politikus yang melakukan kecurangan. "(Pendidikan politik) ini butuh waktu lama," kata dia.
Praktik politik uang, menurut Ade, kemungkinan masih terjadi pada pemilu mendatang. Karena itu, ia mengatakan, masyarakat harus diingatkan.
Untuk waktu dekat ini, menurut dia, bisa dilakukan kampanye besar-besaran untuk menolak politik uang. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) didesaknya tegas menegakkan aturan. Kandidat yang melakukan politik uang dapat dipidanakan sesuai ketentuan.
Ade mengatakan, para calon anggota dewan atau pemimpin yang membeli suara itu bukan kandidat yang benar. Sehingga, menurut dia, ada kemungkinan untuk melakukan tindak pidana lain setelah menjabat. Masyarakat harus menyadari itu. "Tolak uangnya, tolak orangnya," kata dia.
Selama ini muncul pandangan untuk menerima uangnya, tapi tak perlu memilih orangnya. Ade berpandangan lain. Menurut dia, kandidat yang menginventasikan dananya untuk membeli suara berpotensi untuk menggasak uang negara sebagai pengganti alias korupsi. "Karena itu, dua-duanya (uang dan orang) harus ditolak," ujar dia.