REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Berdasarkan Pengukuran Kontinyu Stasiun Pemantau (Air Quality Monitoring System-AQMS) Kementerian Lingkungan Hidup di Kota Surabaya, kualitas udara di kota itu tidak sehat pascaerupsi Gunung Kelud.
"Pantauan pada pukul 11.00 WIB?kondisi kualitas udara berada pada PM 10 konsentrasi 230ug/m3 atau indikasi kualitas udara tidak sehat," kata Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan dan Peningkatan Kapasitas KLH Henry Bastaman dalam keterangan tertulis yang diterima di Medan, Sumatera Utara, Jumat.
Data Center Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Pusarpedal) KLH juga mencatat, pada pukul 07.00?WIB pascaerupsi,?kondisi PM 10 konsentrasi 180ug/m3 (indikasi kualitas udara sedang) dan kondisi yang sama pada pukul 07.30 WIB.
Sementara pengukuran kualitas udara di Kota Yogyakarta masih dilaksanakan. Pemantauan dilakukan bekerja sama dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).
Data kualitas udara yang akan diukur di Yogyakarta adalah PM-10, PM-2.5 dan kandungan logam berat.
Meletusnya Gunung Kelud Kamis (13/2) sekitar pukul 23.00 WIB berdampak pada timbulnya hujan abu vulkanik untuk sejumlah wilayah di Jawa Tengah, Yogyakarta, serta Jawa Timur.
Partikel abu vulkanik berpotensi mengganggu sistem pernapasan karena mengandung kristal silika.
Kristal silika merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam industri kaca untuk membuat kaca keras.
Jika terhirup dan masuk ke paru-paru, partikel ini berpotensi merusak alveoli, unit pernapasan terkecil dari paru-paru.
Masyarakat diimbau menggunakan masker jika berada di luar ruangan agar tidak menghirup abu vulkanik.